Vanda Mustika
PENDAHULUAN
Stroke merupakan sindrom klinis yang
ditandai oleh gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak
yang mengalami gangguan,
yang timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam
beberapa jam).
Stroke juga didefinisikan sebagai cedera otak non trauma, yang disebabkan oleh
sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak, yang menyebabkan defisit neurologis
mendadak ditandai oleh gangguan kontrol motorik, terganggunya sensasi, gangguan
kognitif dan bahasa, disequlibrium,
atau koma. Lesi fokal di otak yang terjadi pada pasien stroke bisa menimbulkan
berbagai defisit neurologis, seperti hemiparesis, kehilangan hemisensori,
afasia, hemianopia, dsb.1,2 Hemiparesis
dan pemulihan motorik merupakan impairmen yang paling sering dipelajari, karena
hampir 88% pasien stroke akut mengalami hemiparesis.3
Tujuan dari rehabilitasi pasien stroke
adalah untuk mencapai tingkat kemandirian fungsional tertinggi, meminimalkan
disabilitas, mengembalikan pasien dengan sukses ke rumah, keluarga dan
komunitas serta mengembalikan kehidupan yang berarti dan bahagia. Tujuan
tersebut dapat terwujud melalui berbagai terapi untuk mengurangi impairmen;
latihan fungsional untuk sebagai kompensasi impairmen; penggunaan alat bantu
untuk menggantikan fungsi yang hilang. 1,2
Stroke merupakan penyebab utama
disabilitas dan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Setelah terserang
stroke, pasien tetap memiliki risiko tinggi untuk terjadinya serangan stroke
kembali dan juga infark miokardium. Hampir sepertiga pasien stroke mengalami
serangan stroke kembali dalam 5 tahun, meskipun telah diberikan pengobatan yang
optimal. Komorbid kondisi kardiovaskular terjadi pada 75% pasien stroke, yang
menjadi penyebab kematian utama pada pasien yang pernah mengalami stroke. 4
Kebugaran kardiorespirasi bervariasi
tergantung pada usia, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, komposisi tubuh
serta ada atau tidaknya penyakit kronik atau disabilitas. Pada pasien stroke
sangat terjadi dekondisi kardiorespirasi dan muskular, literatur yang ada
menyebutkan bahwa kebugaran kardiorespirasi berkurang hampir 50% bila
dibandingkan dengan populasi seusia dengan pola hidup sedentary. Masih belum jelas apakah penurunan kebugaran ini terjadi
karena kondisi premorbid, efek langsung dari stroke atau akibat inaktivitas
fisik pasca stroke. Namun apapun penyebabnya, penting untuk menilai kapasitas
pasien stroke untuk penyesuaian respon fisiologis saat memberikan intervensi
rehabilitasi yang agresif. 4,5
Gambaran fisiologis yang mendasari
penurunan kebugaran metabolik pada fase kronik stroke meliputi atrofi otot
besar, terganggunya fenotip molekular otot, peningkatan luas area lemak
intramuskular, peningkatan marker inflamasi jaringan dan terganggunya aliran
darah perifer. Bukti epidemiologis memaparkan bahwa penurunan kebugaran
kardiorespirasi dan perubahan biologis sekunder pada otot dapat menyebabkan
sindrom metabolik yang mengakibatkan risiko morbiditas dan mortalitas
meningkat. 4
Memelihara tingkat kebugaran
kardiorespirasi merupakan salah satu hal penting pada pasien stroke kronik.
Dekondisi fisik menyebabkan pasien stroke kronik memiliki risiko tinggi untuk
terkena sindrom metabolik yang berhubungan dengan perubahan karakteristik
jaringan yang mengalami hemiparetik. Namun kebugaran kardiorespirasi serta
pentingnya kebugaran yang dapat dimodifikasi masih menjadi topik yang jarang
dibahas pada populasi ini. 4
Kebugaran kardiorespirasi merupakan
pemeriksaan yang meliputi penilaian kemampuan jantung, paru, pembuluh darah dan
otot skeletal yang bekerja bersama untuk mengantar oksigen dan mengeluarkan
produk metabolik selama latihan, secara tidak langsung menggambarkan kesehatan
kardiorespirasi, metabolik dan fungsional. Paling sering kebugaran
kardiorespirasi ini diperiksa dengan menggunakan gambaran metabolik untuk
analisis gas dan peralatan latihan (misalnya treadmill, recumbent stepper, atau ergometer cycle untuk menentukan kapasitas
konsumsi oksigen puncak (VO2 peak) dan dinilai selama latihan. 5
Beberapa penelitian
telah membuktikan terjadinya peningkatan kapasitas aerobik dan kebugaran
kardiorespirasi setelah mengikuti latihan aerobik baik pada fase awal maupun
lanjut. Latihan kardiorespirasi telah terbukti lebih efektif dalam meningkatkan
kebugaran dan mobilitas fungsional dibanding fisioterapi reguler. Beberapa
bentuk latihan seperti hidroterapi, cycling
dan treadmill dapat dikerjakan oleh
pasien dengan beberapa tehnik yang dapat membuat pasien stroke mampu untuk
mengerjakannya, seperti mengikat kaki selama cycling dan bodyweight
support selama berjalan. 6
STROKE DAN SINDROM DEKONDISI PADA
STROKE
Definisi Stroke
Stroke
merupakan sindrom klinis yang ditandai oleh gejala dan tanda
yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang mengalami gangguan, yang timbul secara
mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam). Stroke juga didefinisikan
sebagai cedera otak non trauma, yang disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya
pembuluh darah otak, yang menyebabkan defisit neurologis mendadak ditandai oleh
gangguan kontrol motorik, terganggunya sensasi, gangguan kognitif dan bahasa, disequlibrium, atau koma.1,2,7
Gejala Stroke
Kelemahan,
kesulitan bicara atau mengunyah, afasia, gangguan kognitif, gangguan sensorik
atau gangguan penglihatan merupakan gejala stroke yang paling sering timbul dan
defisit pada area ini sering menetap setelah rehabilitasi awal. 7
Pemeriksaan Fisik
Perlu
dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yang mencakup evaluasi status mental,
saraf kranial, sensasi, refleks tendon dalam, refleks patologis, kekuatan
motorik dan koordinasi, tonus otot, dan mobilitas fungsional (duduk, transfer,
ambulasi). Penilaian mood dan afek penting dilakukan mengingat tingginya
prevalensi depresi pasca stroke. Lingkup gerak sendi pada ekstremitas yang
terlibat juga harus diperiksa, pada stroke dengan hemiplegik sering terjadi
kontraktur plantar fleksi ankle dan kontraktur ekstremitas atas.7
Keterbatasan fungsional
Manifestasi yang sering terjadi pada
stroke berupa kesulitan untuk berjalan, melakukan aktivitas hidup sehari-hari,
bicara dan menelan. Gangguan kognitif (memori, atensi, persepsi visual-spasial)
dan gangguan komunikasi akibat afasia atau disartria mungkin terjadi. Impairmen
yang terjadi pada stroke tergantung pada anatomi yang terlibat. 7
Sebagai
akibat dari terjadinya impairmen ini, sebagian individu menjadi tidak mampu
menyetir mobil atau menggunakan transportasi publik. Kesulitan komunikasi dapat
membawa kepada isolasi sosial. Beberapa individu membutuhkan supervisi akibat
gangguan kognisi. Penderita
stroke yang berusia lebih dari 65 tahun yang dievaluasi 6 bulan setelah stroke,
15% tidak dapat berjalan tanpa bantuan, 26% mandiri dalam aktivitas
hidup sehari-hari, dan 26% dirawat di rumah perawatan. 7
Rehabilitasi
Program
rehabilitasi yang diberikan perlu disesuaikan dengan keparahan dan bentuk
impairmen yang terjadi akibat stroke. Untuk individu dengan stroke sedang
hingga berat, diperlukan rehabilitasi komprehensif multidisiplin bila perlu
dilakukan rawat inap khusus untuk rehabilitasi. Pasien dengan defisit yang
lebih sedikit dan terisolasi dapat langsung pulang setelah perawatan fase akut
dan menjalani program rehabilitasi rawat jalan. 7
Latihan
Program
latihan terapeutik biasanya fokus pada fungsional, dengan penekanan pada
pemulihan mobilitas fungsional serta kemampuan melakukan aktivitas hidup
sehari-hari. Bagaimana cara melakukan tehnik kompensasi serta edukasi ke
keluarga penting dilakukan untuk membantu pasien kembali ke rumah. Terdapat bukti
bahwa latihan terapeutik dapat meningkatkan reorganisasi kortikal setelah
stroke, dengan perbaikan pada kontrol motorik dan aktivitas fungsional. 7
Tingkat Kebugaran Pasien Stroke
Setelah menyelesaikan serangkaian terapi
fisik, belum ada yang memberikan rekomendasi empiris untuk melakukan latihan
rutin selama periode stroke kronik. Pasien kemudian mengalami penurunan
fungsional dan kardiovaskular sebagai akibat inaktivitas fisik ditambah dengan
usia yang makin bertambah dalam kondisi disabilitas kronik. Data dari
Framingham dan studi prospektif lain mengatakan bahwa hemiparetik terjadi pada
setengah penderita stroke, dan merupakan defisit neurologis yang paling jelas
berperan dalam disabilitas jangka panjang pada populasi ini. Suatu studi pada
pasien stroke pada tahun 1970 melaporkan bahwa energi yang dibutuhkan untuk gait hemiparetik meningkat 55-100%
dibandingkan dengan kontrol yang normal. Setelah dilakukan observasi, pasien
stroke dengan hemiparetik tidak mampu untuk mempertahankan kecepatan berjalan efisien
dengan nyaman, yang menandakan endurans yang rendah yang membatasi mobilitas
fungsional mereka. 4
Dalam uji ambulasi 50 yard pasien stroke
usia lanjut menunjukkan intoleransi aktivitas yang bermakna meliputi sesak,
perlambatan yang progresif serta deksteritas motorik yang memburuk, yang
menggambarkan dekondisi membatasi fungsi ambulasi dan membahayakan keamanan gait. 4
Pada pemeriksaan kapasitas latihan pada
pasien stroke kronik dengan hemiparetik yang dinilai dengan spirometri open circuit dengan ergometri sepeda,
terlihat bahwa konsumsi oksigen rata-rata lebih rendah dibandingkan nilai orang
normal seusianya. Hasil ini kemudian didukung dengan penelitian yang
menggunakan uji treadmill, yang merupakan metode evaluasi yang lebih dipilih
untuk menilai kapasitas aerobik puncak. Berbagai sumber menunjukkan adanya
kombinasi peningkatan kebutuhan energi pada gait
hemiparetik dan kapasitas latihan puncak yang rendah, yang menghasilkan
cadangan kebugaran fisiologis yang menurun. 4
Kapasitas aerobik rendah dan
fungsi AKS pada Stroke Kronis
Tubuh manusia pada saat istirahat
mengkonsumsi oksigen 3,5 mL/kg/min. Aktivitas fisik apapun selain istirahat
membutuhkan oksigen lebih, tergantung pada intensitas usaha yang dilakukan.
Ahli fisiologi latihan mengukur intensitas usaha untuk melakukan aktivitas
dengan istilah perkalian dari konsumsi
oksigen istirahat atau metabolik equivalen (METS). Contohnya 1 MET setara
dengan konsumsi oksigen 3.5 mL/kg/min, sementara 3 METS setara dengan 10.5
mL/kg/min, atau 3 kali saat istirahat. Perhitungan MET ini berhubungan dengan
berbagai tingkat aktivitas fisik yang memaparkan aktivitas kehidupan
sehari-hari instrumental biasanya membutuhkan 3 METS konsumsi oksigen, dan AKS
yang lebih berat membutuhkan sekitar 5 METS. MET yang dipublikasikan untuk
berbagai aktivitas tidak memperhitungkan adanya disabilitas, yang biasanya
meningkatkan energi yang dibutuhkan berdasarkan inefisiensi motorik kasar dan
faktor lain yang berhubungan. Misalnya berjalan pada tanah datar biasanya
menggunakan 2 – 2,5 METS pada orang sehat non stroke. Namun berdasarkan hasil
penelitian pasien stroke dapat menggunakan 3+ METS saat berjalan di tanah
datar. Hal ini akibat rendahnya efisiensi gerakan akibat peningkatan kebutuhan
energi pada gait hemiparetik.4
Selain itu, ada satu hal lain yang
relevan ketika mempertimbangkan tingkat kebugaran aerobik puncak pada pasien
stroke. Hal ini berkaitan dengan pada saat mana dalam menuju puncak tubuh
beralih ke produksi energi anaerobik dari oksidatif murni atau aerobik. Secara
khusus, hal ini berguna untuk mempertimbangkan proporsi tingkat konsumsi
oksigen puncak di mana kontraksi otot dapat terus dipertahankan melalui
produksi energi aerobik atau oksidatif. Setelah titik ini dilampaui, tubuh
bergeser ke metabolisme anaerobik untuk produksi energi. 4
Dasar fisiologis untuk fatigue paling
sering berkaitan dengan tingkat usaha ketika kebutuhan oksigen melebihi ambang
batas yang disebut anaerobik (juga disebut sebagai ambang ventilasi atau ambang
laktat). Tingkat kerja mekanik yang lebih rendah dapat diatasi sendiri oleh
jalur metabolisme aerobik atau oksidatif, dimana ADP adalah terfosforilasi
oksidatif untuk menghasilkan ATP, bentuk energi yang dapat digunakan untuk
kontraksi otot. Melalui tingkat aktivitas yang lebih tinggi akan memerlukan
jalur anaerob. Metabolisme anaerob menghasilkan laktat, yang menyebabkan
kelelahan lebih cepat. Mempertahankan aktivitas di atas ambang anaerob
menyebabkan kelelahan; semakin tinggi berada di atas ambang batas, semakin
cepat kelelahan terjadi. Jadi, berdasarkan definisi, kelelahan dapat terjadi
baik pada tingkat konsumsi oksigen puncak atau dengan aktivitas yang
berkepanjangan di atas ambang batas. Hal ini disebabkan peningkatan
eksponensial laktat, yang mengganggu kemampuan individu untuk kontraksi
kelompok otot yang diperlukan secara efektif. 4
Perubahan
akibat stroke:
¨
Regulasi kardiovaskular setelah stroke
Fungsi kontrol otonom
jantung. Sistem saraf pusat (parasimpatik dan simpatik) mengatur denyut
jantung, kontraktilitas jantung, tekanan darah, dan tonus vasomotor pembuluh
darah. Gangguan yang terkait dengan kontrol otonom aliran darah dan regulasi
jantung dapat terjadi setelah stroke, khususnya jika stroke terjadi sekitar
parietalis dan insular korteks. Satu penelitian melaporkan bahwa pasien dengan
stroke insular kiri mengalami peningkatan penyakit jantung seperti gagal
jantung dalam waktu satu tahun setelah stroke. Komplikasi jantung ini bisa
memiliki efek yang signifikan terhadap fungsi jantung selama aktivitas dan
olahraga. Juga diketahui bahwa pasien pasca stroke memiliki frekuensi denyut
jantung yang lebih rendah dan konsumsi oksigen pada uji latih usaha puncak yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan individu sehat seusianya. Hal ini mungkin
akibat dari gangguan kontrol otonom sistem kardiovaskular selain pemberian
terapi farmakologis (beta blocker). 8
¨
Fungsi respirasi setelah stroke
Meskipun tidak semua
pasien setelah stroke memiliki penyakit paru yang jelas, respirasi dapat
menurun sebagai akibat langsung dari stroke itu sendiri (terutama stroke batang
otak), komplikasi yang terkait (misalnya, kelemahan otot-otot pernapasan,
terganggunya mekanik pernapasan), komorbiditas (misalnya, penyakit paru
obstruktif kronik, disfungsi kardiovaskular), atau faktor gaya hidup (misalnya,
inaktivitas fisik, merokok). Kelelahan yang berlebihan yang dialami oleh
beberapa orang setelah stroke mungkin disebabkan karena insufisiensi respirasi
dengan manifestasi kapasitas difusi paru yang rendah, ketidakcocokan
ventilasi-perfusi, atau penurunan volume paru (misalnya, kapasitas vital,
kapasitas total paru, kapasitas inspirasi dan inspirasi maksimal, dan volume
cadangan ekspirasi). Mekanik pernapasan terganggu dengan adanya restriksi dan
paradoksal dinding dada dan depresi diafragma telah juga dilaporkan. Disfungsi
ekspirasi berhubungan dengan tingkat kerusakan motorik (misalnya, paresis
hemidiafragma dan otot interkostal serta abdomen). Keterbatasan inspirasi,
mempunyai manifestasi berupa penurunan tekanan inspirasi maksimal berkurang,
yang terkait dengan berkurangnya pengembangan dinding dada akibat terbentuknya
kontraktur sangkar iga secara bertahap. 8
Gangguan fisiologi di
atas mengurangi cadangan ventilasi (perbedaan antara ventilasi maksimal yang
tersedia dengan ventilasi yang diukur pada akhir latihan) yang memiliki
kontribusi terhadap kebugaran
kardiorespirasi yang rendah pada populasi stroke. Pada puncak latihan, pasien
stroke memiliki ventilasi menit dan volume tidal yang secara signifikan lebih
rendah, namun frekuensi pernapasan tidak lebih rendah jika dibandingkan dengan
kontrol. Penurunan volume paru dan gangguan gerakan dinding dada tidak hanya menyebabkan
penurunan endurans latihan, napas pendek, dan risiko perilaku sedentary, tetapi
juga meningkatkan risiko stroke berulang. Oleh karena itu, harus dilakukan
intervensi latihan untuk meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan fungsi paru
. 8
¨
Penurunan
massa otot
Tidak diragukan lagi, penurunan massa
otot berperan dalam kemampuan pasien untuk menggunakan oksigen. Jumlah jaringan
yang aktif secara metabolik bertanggung jawab dalam jumlah oksigen yang
digunakan. Ivey at al meneliti pada pasien stroke terdapat hubungan yang kuat
antara massa otot paha yang dinilai dengan dual-energi x-ray absorptiometry
(DEXA) dan puncak VO2. VO2 ini terkait dengan massa otot
dari kedua paha (r = 0,64, p <.001), dengan massa otot dapat memprediksi
lebih dari 40% dari varians dalam puncak aerobik fitness. Pemeriksaan CT scan
pertengahan paha digunakan untuk menggambarkan betapa parahnya atrofi yang
disebabkan oleh hemiparesis kronis. Terdapat atrofi otot besar ekstrim di
pertengahan paha paretic kaki CT scan, menunjukkan daerah otot 20% lebih rendah
dibandingkan dengan paha nonparetic (p <.0001). Selain itu, daerah lemak
intramuskular adalah 25% lebih besar di paha paretik dibandingkan dengan paha
nonparetik (p<.0001). Peningkatan lemak intramuskular dapat dikaitkan dengan
resistensi insulin dan komplikasinya, sdrta berhubungan dengan kebugaran
kardiorespirasi dan fungsi. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa tidak hanya
paha yang mengalami masalah tetapi juga otot-otot lain di seluruh sisi paretik
bisa mengalami perubahan serupa, dengan dampak sistemik pada metabolisme tubuh
seluruhnya. 4, 8
¨
Perubahan
komposisi jaringan
Selain perubahan komposisi makroskopis,
perubahan di tingkat seluler di jaringan pada sisi paretik juga memiliki
kontribusi untuk terjadinya kebugaran yang buruk dan memburuknya risiko
penyakit penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD). Sehingga bukan hanya
kuantitas dari jaringan otot yang berhubungan dengan stroke kronis tetapi juga
kualitas jaringan yang memberikan kontribusi untuk fungsional dan gejala sisa
metabolik. Sebagai contoh, distribusi rantai berat myosin (MHC) isoform dalam
jaringan paha, yang yang dapat merupakan gambaran proporsi jenis serat. Otot
rangka terdiri dari serat-serta yang mengekspresikan MHC isoform berbeda. Serat
lambat (tipe I) MHC memiliki fungsi oksidatif yang lebih tinggi, yang lebih
tahan kelelahan, dan lebih sensitif terhadap ambilan glukosa yang dimediasi
insulin. Serat cepat (tipe II) MHC direkrut untuk gerakan yang lebih kuat,
lebih cepat lelah, dan kurang sensitif terhadap aksi insulin. Pewarnaan ATPase
rutin pada pH 4,6 dan elektroforesis gel MHC dari biopsi otot kaki paretik pada
13 pasien stroke menunjukkan peningkatan proporsi serat tipe cepat (tipe II).
Lebih lanjut, analisis densitometri elektroforesis gel MHC menganalisis biopsi
vastus lateralis bilateral menunjukkan proporsi meningkat signifikan untuk tipe cepat pada sisi paretik
tersebut (68% ± 14%, rentang 46-88% dari total MHC) dibandingkan kaki
nonparetic (50% ± 13 %, rentang 32%-76%, p <0,005). Temuan ini kontras
dengan proporsi yang relatif sama dari serat tipe lambat dan cepat pada
individu tanpa stroke. 4,8
¨
Gangguan aliran darah perifer
Terganggunya aliran
darah kaki sisi paretik pada stroke kronis dapat merupakan fitur klinis lain yang terkait dengan memburuknya kebugaran
kardiorespirasi dan risiko CVD. Aliran
darah yang adekuat ke
perifer sangat penting
untuk ekstraksi oksigen efektif selama kerja fisik. Jika otot-otot bekerja
tidak memiliki akses yang tepat untuk darah beroksigen, mereka tidak dapat
memanfaatkan oksigen untuk produksi energi, sehingga mengurangi kemampuan untuk
mempertahankan aktivitas fisik. Jadi, kita menganggap perubahan hemodinamik
yang menyertai hemiparesis menjadi sangat penting dalam hal berkurangnya VO2peak dan kebugaran kardiorespirasi. 4
Ivey
et al membandingkan aliran darah kruris saat istirahat di kaki paretik dan
nonparetik dari 19 pasien stroke dengan plethysmography strain gauge.
Penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam aliran darah kruris
saat istirahat di sisi paretik dan nonparetik (2,3 ± 0,2 vs 3,4 ± 0,2 ml/100 ml
/ menit, p <.001). Ada perbedaan 32% dalam aliran darah istirahat di kedua
sisi. Selain itu, aliran darah postischemic
reaktif hyperemic adalah 35% lebih rendah pada kaki yang terkena (13,5 ±
1,6 vs 8,8 ± 1,4, p <.001). 4
Pada stroke kronis,
aliran darah pada sisi paretik secara signifikan lebih rendah saat istirahat
dan juga selama latihan, jika dibandingkan dengan ekstremitas nonparetik.
Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa berkurangnya aliran darah terjadi
akibat penurunan aktivitas fisik, yang dapat mempengaruhi kecepatan aliran
darah, fungsi endotel, dan diameter arteri. Sebuah studi lain menyatakan bahwa
telah terjadi remodeling pembuluh darah di arteri femoralis di sisi paretik
setelah stroke. 8
Diameter arteri
femoralis dan kecepatan aliran darah secara signifikan berkurang pada sisi
paretik jika dibandingkan dengan sisi nonparetik. Ketebalan dinding arteri
femoralis juga lebih besar secara signifikan di tungkai paretik, yang
berpotensi menimbulkan gangguan fleksibilitas dinding pembuluh darah untuk
dilatasi selama aktivitas untuk mengalirkan darah yang memadai dan mengantarkan
oksigen. 8
¨
Memburuknya status metabolisme tubuh secara
keseluruhan
Vaskularisasi unilateral
dan perubahan metabolik pada otot dapat menyebabkan memburuknya risiko
kardiovaskular dengan menyebabkan sindrom metabolik. Ivey et al mengumpulkan
data cross-sectional terhadap kejadian diabetes dan toleransi glukosa terganggu
pada semua pasien stroke kronis yang diskrining selama beberapa tahun terakhir.
Sekitar 35% dari pasien stroke saat itu memiliki diabetes dengan riwayat medis
pada saat datang. Selain itu, hiperglikemia puasa dan postprandial sangat lazim
pada pasien yang tidak diidentifikasi sebagai diabetes dari riwayat sebelumnya.
Ivey menunjukkan bahwa laju metabolisme glukosa abnormal dapat mencpai 80% pada
pasien stroke kronis (Ivey, unpublished data, 2004). 4
¨
Berubahnya aktivasi
jalur inflamasi pada otot hemiparetik
Mekanisme biologis yang
mendasari atrofi otot dan gangguan fungsi metabolisme setelah stroke
hemiparetik belum diketahui dengan baik. Dalam populasi nonneurologis,
meningkatnya TNFα dan aktivasi faktor nuklir ekspresi kappa beta telah
dikaitkan dengan sarcopenia akibat peningkatan usia dan atrophy disuse. Selain
itu, TNFα telah dikaitkan dengan diabetes dan syndrom metabolik. Hubungan ini
disebabkan sebagian oleh aksi langsung TNFα dalam memblokir sinyal insulin,
yang menghasilkan resistensi insulin in vivo yang reversibel dengan pemberian
receptor TNFα. Oleh karena itu, mulai diteliti aktivasi jalur inflamasi dalam
otot hemiparetik, dan terdapat bukti awal bahwa ekspresi TNFα meningkat
dibandingkan tungkai nonparetik. Dalam populasi disabilitas nonneurologis, yang
meliputi orang tua yang lemah dan individu dengan gagal jantung, latihan otot
rangka mengurangi TNFα untuk meningkatkan fungsi metabolik. Bila dikumpulkan,
studi ini mendukung untuk menyelidiki lebih lanjut efek dari latihan untuk
meningkatkan jalur inflamasi otot dan meningkatkan hasil rehabilitasi setelah
stroke. 4
Berbagai
metode digunakan untuk menilai respon terhadap latihan, dikenal 2 istilah dalam
uji latih ini: 9
1. Uji latih performa
Uji latih ini
dilakukan pada pasien yang sehat dengan tujuan menilai kapasitas aerobik atau
penilaian kebugaran, peresepan latihan dan menilai respon terhadap latihan
serta modifikasi gaya hidup.
2. Uji latih
klinis
Dilakukan pada subyek yang datang
dengan tanda dan gejala penyakit dengan tujuan untuk diagnosis, penilaian
risiko, memantau kemajuan serta respon terhadap intervensi.
Uji submaksimal
Uji submaksimal
ialah uji dengan peningkatan intensitas lebih rendah daripada uji latih
maksimal yang ditandai dengan denyut jantung sebesar 85% dari perkiraan denyut
jantung maksimal. Uji submaksimal dapat dikerjakan baik pada uji latih
performa maupun uji latih klinis. Uji ini juga dapat dikerjakan pada seting
laboratorium ataupun lapangan, dapat bersifat incremental ataupun konstan, namun tidak dapat menilai kapasitas
latihan maksimal secara langsung. Untuk mendapatkan prediksi kapasitas aerobik
(VO2max) maka diasumsikan dengan menggunakan rumus atau grafik. 9
Uji maksimal
Uji latih
maksimal adalah uji dengan peningkatan intensitas usaha sampai tingkat tertentu
sampai batas tidak terjadi lagi kenaikan ambilan oksigen. Hal ini ditandai
dengan kelelahan atau gejala yang menghambat dilanjutkannya latihan serta tidak
lagi terjadi kenaikan denyut jantung. Uji maksimal atau hampir maksimal
juga dapat digunakan pada uji latih performa maupun uji latih klinis, serta
dapat dilakukan untuk uji lapangan maupun uji laboratorium. Prediksi VO2max
akan lebih baik karena dilakukan
pengambilan data maksimal yang aktual. Bila tersedia instrumen untuk
pemeriksaan pertukaran gas, maka kapasitas aerobik dapat dinilai (VO2max).
Karena subyek diminta untuk mengerjakan sampai batas simptomatik atau
subyektif, uji ini sangat tergantung pada usaha subyek. 9
Uji
latih lapangan: 9
- Uji jalan atau berlari
- Step test
- Shuttle walk atau berlari
- Treadmill
- Cycle
- Arm ergometer
Uji treadmill VO2peak
pada pasien stroke
Jumlah
oksigen yang dikonsumsi selama latihan dengan usaha puncak sering digunakan
sebagai pemeriksaan kebugaran umum serta memiliki hubungan yang baik dengan
fungsi secara umum pada pasien stroke. 4
Pertama
kali dilakukan uji toleransi treadmill pada kemiringan 0 derajat untuk menilai
keamanan gait serta menentukan target
kecepatan berjalan untuk uji treadmill dengan usaha puncak nantinya. Pasien
stroke setidaknya harus menyelesaikan 3 menit berturut-turut pada kecepatan
> 0,5 mph untuk diperbolehkan melanjutkan ke uji stres kardiak treadmill
tanpa spirometri open circuit.
Individu yang mampu mencapai intensitas latihan yang adekuat tanpa menunjukkan
tanda-tanda iskemik miokardial yang signifikan atau kontraindikasi lain untuk
latihan dapat melanjutkan dengan uji VO2 puncak. Kapasitas latihan puncak
diperiksa dengan spirometri open circuit yang
dilaksanakan selama kecepatan konstan, berjalan di treadmill yang ditingkatkan
secara progresif hingga timbul fatigue. 4
Uji ini telah terbukti aman dan dapat
diandalkan untuk pasien stroke dengan disabilitas kronik. Ada yang menganggap
gangguan gait dan keseimbangan
sebagai kontraindikasi uji treadmill. Namun dengan menggunakan protokol
kecepatan konstan yang disesuaikan dengan kecepatan gait pasien, peningkatan beban kerja dengan sudut meningkat pada
treadmill yang mengontrol kecepatan turun 0,1 mph memungkinkan kita untuk
melakukan uji kardiorespirasi usaha puncak pada kebanyakan pasien stroke
hemiparetik. Bahkan, lebih dari 95% pasien stroke telah mentoleransi uji latih
usaha puncak dan mencapai denyut jantung puncak 85% ± 14% dari denyut jantung
maksimal sesuai perkiraan usia tanpa efek samping. Semua pasien yang berhasil
menyelesaikan uji latih dapat mencapai intensitas latihan yang adekuat untuk
intensitas latihan AEX rendah-sedang. Saat protokol uji ini digunakan, berhasil
dideteksi iskemia miokard tanpa gejala dan reversibel pada sekitar 28% dari
pasien stroke yang tidak memiliki riwayat penyakit arteri koroner (CAD). 4
Uji
jalan 6 menit pada pasien stroke
Baku emas untuk mengetahui kebugaran
kardiorespirasi adalah dengan pemeriksaan konsumsi oksigen maksimal selama
penilaian uji latih. Namun, impairmen yang terjadi akibat stroke seperti
gangguan kekuatan otot serta gangguan sensorik dapat membatasi pelaksanaan uji
latih maksimal pada populasi pasca stroke. Uji latih juga mahal serta
membutuhkan waktu cukup lama dan peralatan uji latih ini di setiap tempat.
Sebagai alternatif, uji jalan didesain sebagai pemeriksaan status fungsional
yang obyektif dan telah digunakan sebagai pemeriksaan pengganti untuk memeriksa
kebugaran kardiorespirasi pada populasi tertentu. Pada individu dengan gangguan
kardiorespirasi yang korelasi jarak tempuh uji jalan 6 menit (6MWT) dan VO2max
bervariasi dari 0,51 hingga 0,90. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi uji jalan pada pasien stroke, sehingga korelasi antara jarak
tempuh dengan kapasitas aerobik belum banyak ditegakkan, namun korelasinya
bervariasi mulai dari tidak ada korelasi hingga korelasi yang rendah (0.40, p
< 0.005) pada pasien stroke kronik dan korelasi tinggi (0.84, p < 0.001)
pada stroke subakut. 10
Tang et al (2006) membandingkan jarak
tempuh 6MWT dengan uji ergometer cycle pada 36 pasien stroke. Ergometer cycle
dengan posisi semi berbaring digunakan untuk uji latih maksimal untuk
menghindari keterbatasan mencapai kapasitas aerobik maksimal bila menggunakan
treadmill. Protokol yang digunakan dimulai dengan beban 10 watt, 50 rpm, dengan
beban dinaikkan setiap menit. Hasilnya terdapat korelasi sedang antara jarak
tempuh 6MWT dengan VO2peak
(r=0.56, p<0.001). Durasi uji latih maksimal juga memiliki korelasi
sedang dengan jarak tempuh 6MWT (r = 0.60, p < 0.001). 10
Uji Ergometer Cycle pada pasien stroke
Pada
populasi sehat, VO2max yang ditentukan dengan ergometer cycle
sedikit lebih rendah daripada yang dicapai dengan uji treadmill. Selain itu uji
ini mungkin tidak cocok untuk digunakan pada pasien usia lanjut, pasien lemah
dan dengan keterbatasan berat, klinisi mungkin menganggap bahwa uji 6MWT lebih
akurat menggambarkan kebugaran kardiorespirasi. Namun pada populasi stroke
kronik, ergometer cycle VO2max rata-rata adalah 22,0 + 4,8 mL/kg/min yang dapat memberikan
estimasi VO2max lebih baik daripada uji 6MWT dengan VO2max rata-rata
14,7 + 3,3 mL/kg/min sehingga ergometer cycle merupakan penanda
kebugaran kardiorespirasi yang lebih dapat diandalkan. 11
Terdapat asumsi bahwa populasi
yang mengalami kesulitan dengan keseimbangan, kekuatan dan spastisitas dapat
diakomodasi lebih baik dengan menggunakan ergometer cycle. Sejalan dengan
asumsi ini frekuensi denyut jantung maksimum yang diprediksi sesuai usia pada yang
menggunakan ergometer cycle 91,8 + 10,7 % bila dibandingkan dengan 6MWT
65,1 + 8.9%. Tingkat perceived
exertion yang diukur dengan 16 poin
skala Borg juga lebih tinggi saat mengerjakan ergometer cycle.11
Kapasitas Kardiorespirasi Pada Pasien
Stroke
Billinger
et al (2011) melakukan studi retrospektif terhadap 62 pasien stroke, parameter
kardiorespirasi yang digunakan adalah VO2peak yang diukur
dengan ergometer cycle maupun body
reccumbent stepper dan dibedakan laki-laki dan perempuan. Hasilnya setelah dibandingkan
dengan data yang terdapat di ACSM’s guidelines for exercise testing and
prescription sebagai kontrol, maka didapatkan hasil bahwa hanya 1 orang yang
memiliki VO2peak di bawah percentil 1 yang artinya memiliki
kebugaran kardiorespirasi yang rendah (poor), 61 sisanya memiliki tingkat
kebugaran yang sangat rendah (very poor). Hanya 10 orang yang memiliki VO2peak
lebih dari 20 mL/kg/menit, sisanya di bawah itu dimana nilai VO2peak
di bawah 20 mL/kg/menit berhubungan dengan keterbatasan fungsi untuk
instrumental AKS. 5
Sistem Energi
Sistem energi adalah
sistem metabolik yang mencakup serial reaksi biokimia dalam formasi Adenosine Triphosphate (ATP), karbon
dioksida dan air. Dimana sel menggunakan energi yang diproduksi dari hasil
konversi ATP menjadi Adenosine Diphosphate (ADP) dan Phosphat (P) dalam rangka melakukan aktivitas metabolik. Sel otot menggunakan
energi ini untuk formasi kontraksi cross-bridge
aktin myosin. 12
Karbohidrat, lemak, dan protein dapat
menghasilkan ATP jika dibutuhkan sebagai bahan bakar tubuh melalui jalur
metabolik. Tubuh menggunakan ATP simpanan dan Creatinine Phosphate (CP) bila tubuh memerlukan energi untuk
melakukan gerakan tiba-tiba. Energi ini disuplai untuk waktu 10 detik.
Sedangkan untuk pengisian kembali suplai CP yang telah digunakan membutuhkan
waktu selama 1-2 menit. Keseluruhan proses ini berlangsung secara anaerobik
(tidak membutuhkan oksigen), berlangsung cepat dan membutuhkan kekuatan besar. 12
Pada beberapa menit pertama kerja fisik
berlangsung metabolisme anaerobik pada CP dan glukosa. Seiring dengan
berlanjutnya kerja fisik maka berlangsung metabolisme aerobik pada glukosa dan
asam lemak. Pada kerja fisik yang lebih berat dimana VO2 maks ≥ 60%
akan terjadi pergeseran kembali ke metabolime glukosa secara anaerobik. 12
Peran asam lemak dalam produksi energi
total pada latihan berat bervariasi antara 10-40% tergantung tingkat kerja
individu. Akumulasi sitrat yang terbentuk akibat dari oksidasi asam lemak akan
menghambat glikolisis fosfofruktokinase guna mempertahankan cadangan glikogen
tubuh. Jika kerja fisik bertambah berat dimana penggunaan ATP melebihi hasil
metabolisme oksidasi kapasitas otot (berkurangnya oksigen yang menerima ion
hidrogen dalam menghasilkan air dan ATP) maka produksi laktat akan meningkat
akibat metabolisme anaerobik glukosa. 12
Latihan Aerobik
Latihan adalah kegiatan fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang dan
bertujuan untuk meningkatkan kebugaran fisik. Latihan aerobik didefinisikan
sebagai latihan yang ritmik, berulang, menggunakan otot-otot besar yang
merangsang respon denyut jantung; kegiatannya dapat berupa jalan cepat, jogging, naik sepeda ataupun berenang. 13
Peresepan Latihan Aerobik
Kuantitas
atau volume latihan mencakup frekuensi, intensitas, jenis (mode) dan durasi.
Dosis minimum dan maksimum latihan harus diukur dengan tepat untuk mendapatkan
manfaat latihan. 14
Faktor yang harus
diperhatikan dalam penyusunan program latihan aerobik adalah:15
a. Program disusun secara individu
Oleh karena setiap individu memiliki kapasitas aerobik yang
berbeda, maka pemberian program berdasarkan kemampuan masing-masing, sehingga
seseorang dengan kapasitas aerobik yang rendah akan diberikan beban yang
rendah, dan sebaliknya seseorang dengan kapasitas yang tinggi akan diberi
program yang tinggi pula.
b. Latihan berupa gerakan dinamik
Latihan untuk meningkatkan kapasitas aerobik harus berupa
gerakan yang melibatkan kelompok otot besar seperti jalan kaki, berlari,
bersepeda, mendayung dan sepak bola. Latihan dinamik akan menyebabkan aliran
darah ke otot yang bekerja meningkat dan respon sirkulasi ini berhubungan
secara langsung dengan kebutuhan oksigen.
c. Latihan ditingkatkan secara progresif
Semua latihan untuk meningkatkan kapasitas aerobik hanya
efektif bila bebannya ditingkatkan setiap minggu/bulan. Hal ini karena tubuh
hanya akan mengadaptasi stres yang lebih besar dari biasanya. Jadi sistem
kardiovaskular dan sistem lain yang telah beradaptasi dengan suatu beban
tertentu harus diberi beban yang lebih besar dari latihan sebelumnya agar
dicapai tingkat adaptasi yang lebih besar lagi.
Frekuensi Latihan
Walaupun volume total aktivitas
fisik merupakan faktor utama dalam mencapai manfaat latihan, namun frekuensi
aktivitas fisik (misalnya jumlah hari dalam 1 minggu yang digunakan untuk
latihan) juga dianggap penting. Manfaat latihan bisa didapatkan pada pasien
dengan frekuensi latihan minimal 1 hingga 2 sesi latihan per minggu dengan
intensitas sedang atau tinggi. ACSM
merekomendasikan frekuensi latihan 3-5 kali per minggu. Terdapat peningkatan
kebugaran fisik dengan frekuensi >3 kali per minggu dan mencapai peningkatan
yang plateau jika latihan dilakukan
>5 kali per minggu. Latihan dengan intensitas tinggi dapat meningkatkan
kejadian cedera, sehingga dosis aktivitas fisik ini tidak disarankan untuk
orang dewasa pada umumnya. 14
Intensitas
Latihan
Terdapat
peningkatan manfaat latihan dengan peningkatan intensitas latihan. Ada batasan
intensitas minimum yang dapat menghasilkan manfaat kebugaran untuk kebanyakan
pasien. Latihan dengan intensitas sedang (40 – 60% VO2R) yang dapat
dilihat peningkatan denyut jantung dan pernapasan direkomendasikan sebagai
intensitas minimum bagi orang dewasa untuk bisa mendapatkan manfaat latihan. 14
Jenis (mode)
latihan
Jenis latihan
ini berhubungan dengan intensitas latihan, latihan dapat berupa continous atau intermitten. Latihan dengan intensitas tinggi dapat diberikan
secara intermitten dengan diberikan fase istirahat, sedangkan latihan dengan
intensitas yang lebih rendah diberikan secara continous.14
Durasi latihan
Durasi latihan merupakan penilaian waktu aktivitas fisik
dilakukan misalnya per sesi, per hari atau per minggu, atau dapat juga
berdasarkan kalori total yang dikeluarkan. Kuantitas aktivitas fisik dapat
dilakukan terus menerus atau intermiten dan diakumulasikan dalam 1 hari dengan
durasi aktivitas fisik minimal 10 menit. 14
Jika lama latihan rendah (kurang dari 20 menit per sesi) atau intensitas
latihan rendah (kurang dari 60% dari denyut jantung maksimal) maka frekuensi
latihan dapat ditingkatkan. Berdasarkan data epidemiologi menyatakan bahwa
frekuensi/ durasi latihan minimal yang dibutuhkan untuk mendapatkan manfaat
latihan dari aktivitas fisik adalah selama 30 menit dan dilakukan 3
kali/minggu, setara dengan pengeluaran energi 700kcal/minggu; dan aktivitas
fisik optimal dilakukan selama 15 menit dilakukan 5-7 kali/minggu,
setara dengan pengeluaran energi 2000-3500 kcal/minggu. 14
Respon Fisiologis Latihan Terhadap
Sistem Kardiovaskular
Penyebab dari penurunan kapasitas fungsional adalah dilatasi ventrikel
kiri, terganggunya fungsi sistolik ventrikel kiri penurunan volume isi sekuncup
dan fraksi ejeksi. Mekanisme primer yang bertanggung jawab atas penurunan
toleransi latihan ini adalah peningkatan tahanan kapiler yang merangsang
reseptor di paru sehingga terjadi sesak. Menurunnya kapasitas pertukaran
membran kapiler pada gagal jantung menyebabkan terganggunya pertukaran gas paru
yang berhubungan dengan kapasitas latihan dan status fungsional. 12
Respnn
fisiologis dengan pemberian latihan: 12
a.
Aliran darah
Pada saat latihan dimulai, pasien mulai berjalan, maka
terjadi aktivasi otot-otot terutama tungkai bawah. Maka kebutuhan oksigen pada
otot-otot skeletal yang aktif akan meningkat dengan cepat. Kebutuhan ini
dipenuhi oleh aktivasi saraf simpatis pembuluh darah, sehingga volume darah
menjadi lebih besar ditambah darah dari tempat yang kurang aktif. Hasil
metabolisme jaringan otot bertambah, timbul akumulasi asam, CO2 dan
peningkatan suhu. Semua perubahan lokal ini memicu vasodilatasi melalui
autoregulasi, yang akan menambah aliran darah lebih banyak lagi.
b.
Tekanan darah
Peningkatan tekanan sistolik karena peningkatan cardiac output, darah mengalir lebih
cepat, sampai pada jaringan dengan membawa nutrisi. Sedangkan tekanan diastolik
tidak dipengaruhi oleh intensitas. Tekanan diastolik biasanya tidak diharapkan
meningkat pada latihan, karena jika meningkat 15 mmHg atau lebih adalah indikasi
untuk menghentikan latihan. Pada latihan dengan intensitas latihan submaksimal,
maka tidak terjadi peningkatan pada diastolik. Bila keadaan steady state dipertahankan, maka tekanan sistolik menurun dan tekanan
diastolik tetap, yang mengindikasikan dilatasi arteriol pada yang aktif, yang
akan menurunkan resistensi perifer.
c.
Frekuensi jantung
(nadi)
Disebabkan peningkatan tonus vagal dan peningkatan tonus
simpatis serta penurunan kadar katekolamin dalam darah. Pada orang yang sudah
terlatih, maka frekuensi denyut jantung akan menurun pada saat istirahat atau
pada latihan dengan beban submaksimal namun frekuensi denyut maksimal tidak
berubah.
d.
Isi sekuncup
Mekanisme isi sekuncup sesuai dengan mekanisme Frank-Starling dimana pengisian darah
pada ventrikel kiri selama diastolik lebih banyak sehingga akan membuat volume
ventrikel kiri cukup besar, dengan demikian kontraksinya harus lebih kuat untuk
mengeluarkan semua isinya.
Isi sekuncup akan meningkat sesuai dengan peningkatan
intensitas latihan. Hal ini karena adanya aktivasi simpatis pada arteri dan
arteriol pada daerah yang tidak aktif dan juga aktivasi simpatis vena secara
keseluruhan, ditambah dengan otot-otot yang aktif akan berfungsi sebagai pompa
yang aktif, membantu aliran balik ke jantung. Peningkatan isi sekuncup ini resiprokal dengan penurunan frekuensi
denyut jantung.
e.
Cardiac output
Cardiac output langsung meningkat,
sesuai dengan intensitas latihan. Peningkatan ini merupakan hasil dari
perubahan pada frekuensi nadi dan isi sekuncup, yang diperkirakan karena adanya
peningkatan kerja. Peningkatan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen
pada otot-otot yang aktif.
Goal
rehabilitasi aktivitas fisik/latihan pada pasien stroke berdasarkan American
Heart Association:
16
a.
Mencegah
komplikasi akibat inaktivitas berkepanjangan
Pasien harus mendapatkan regimen conditioning yang dirancang untuk
mencapai kembali tingkat aktivitas sebelum stroke semaksimal mungkin. Untuk
pasien rawat inap perlu diberikan latihan orthostastik atau gravitasional
(misalnya duduk atau berdiri berkala) selama pemulihan di rumah sakit untuk
menghindari penurunan toleransi latihan yang sering terjadi. Setelah keluar
dari rumah sakit, latihan dilanjutkan dengan latihan gait hingga program
latihan treadmill atau berjalan baik di rumah maupun dalam pengawasan di rumah
sakit.
b.
Mengurangi
terjadinya stroke berulang dan kejadian kardiovaskular
Mengurangi faktor risiko dapat mengurangi insiden stroke
berulang dan kejadian koroner. Program latihan aerobik dapat meningkatkan
regulasi glukosa dan mengurangi berat badan serta penimbunan lemak, menurunkan
tekanan darah (khususnya pasien hipertensi) serta menurunkan kolesterol total
darah, trigliserid serum, dan LDL. Latihan juga meningkatkan kolesterol HDL,
meningkatkan rheology darah, variabel hemostatis dan fungsi endotel arteri
koroner. Hasil ini sesuai dengan adanya bukti bahwa intervensi dapat
memperbaiki stabilitas plak, perbaikan fungsi dinding vaskular ataupun keduanya
yang memiliki implikasi penting bagi manajemen pasien setelah stroke atau
penyakit vaskular lain.
c.
Meningkatkan
kebugaran kardiorespirasi
Goal rehabilitasi yang ketiga adalah meningkatkan kebugaran
aerobik, tidak terbatas oleh keterbatasan fungsional. Telah terbukti bahwa
risiko stroke dapat dikurangi dengan aktivitas fisik di waktu luang pada
berbagai etnik, usia dan kedua jenis kelamin.
Rekomendasi Program Latihan16
Memberikan
resep latihan pada pasien stroke sama dengan memberikan obat, sehingga harus
ada dosis optimal yang direkomendasikan sesuai kebutuhan dan keterbatasan
individu. Latihan aerobik dapat meliputi ergometer kaki, lengan ataupun
kombinasi keduanya pada 40-70% konsumsi oksigen puncak atau heart rate reserve,
dengan penilaian usaha sebagai pemantau intensitas. Frekuensi yang
direkomendasikan adalah 3-7 hari seminggu dengan durasi 20-60 menit per hari
baik terus menerus maupun latihan yang intermitten, tergantung dari tingkat
kebugaran pasien. Protokol latihan intermitten dibutuhkan pada minggu-minggu
awal rehabilitasi karena tingkat dekondisi pasien yang menurun saat fase
pemulihan.
Latihan treadmill dapat
memberikan 3 keuntungan pada pasien dengan stroke, pertama membutuhkan
kemampuan yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari yaitu berjalan. Yang
kedua penggunaan handrail support dan
peralatan “unweighting” (misalnya, harnesses)
dapat membantu pasien berjalan di atas treadmill yang mungkin tidak dapat
dilakukan jika tanpa bantuan. Yang ketiga pada pasien dengan deviasi gait,
intensitas latihan dapat disesuaikan.
Untuk memaksimalkan respon
conditioning secara umum, maka program pemberian tahan untuk ekstremitas atas
juga direkomendasikan untuk pasien stroke yang stabil.
Macko et al tahun
2001 memberikan latihan treadmill pada 23 pasien dengan gait
hemiparetik kronik setelah stroke iskemik. Latihan diberikan selama 40 menit 3
kali seminggu selama 6 bulan. Dilakukan pemeriksaan kapasitas latihan puncak
(VO2peak) selama berjalan di treadmill dengan usaha submaksimal,
konsumsi oksigen selama berjalan di treadmill dengan usaha submaksimal yang
diukur dengan spirometri open circuit dan kapasitas ambulasi sebelum dan
setelah 3 dan 6 bulan latihan. Pada pasien yang berhasil menyelesaikan program
selama 3 bulan (n=21) didapatkan hasil berupa peningkatan VO2peak (15.4+2.9mL/kg/min
menjadi 17.0+4.4 mL/kg/min (p <.02)
dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk ambulasi dengan usaha submaksimal dari
9.3+2mL/kg/min menjadi 7.9+ 1.5mL/kg/min (p<.002),
sehingga untuk melakukan usaha treadmill yang sama menurunkan 20% dari
kapasitas latihan puncak. Peningkatan VO2peak ini menjadi mendatar
setelah 3 bulan namun kapasitas kerja ambulasi puncak meningkat progresif
hingga 39% selama 6 bulan (p<.001). Peningkatan ini dapat memperbaiki
mobilitas fungsional pada pasien kronik stroke.17
Yang
et al pada tahun 2007 melakukan intervensi latihan aerobik pada 15 pasien
stroke ringan-sedang dengan gait
hemiparetik dengan riwayat penyakit arteri koroner di Taiwan. Subyek diberikan
latihan treadmill selama 12 minggu, sebelum dan setelah intervensi dilakukan
pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji latih dan kemampuan fungsional dengan
menggunakan barthel indeks. Kolesterol
total (TC), lowdensity lipoprotein cholesterol (LDL), high-density lipoprotein
cholesterol (HDL), triglyceride, dan TC/HDL juga dievaluasi menggunakan enzyme
auto-analyser. Setelah latihan terdapat peningkatan konsumsi oksigen puncak (VO2peak)
(p < 0.01); kemampuan fungsional juga meningkat signifikan (p <
0.01); nilai kolesterol total, LDL, triglyceride, dan TC/HDL secara signifikan
berkurang (p < 0.01). Namun nilai HDL tidak berubah signifikan.
Pearson analysis menunjukkan korelasi yang kuat antara peningkatan VO2peak dan
penurunan TC/HDL (r = –0.72, p < 0.01). 18
- Pasien stroke mengalami penurunan kebugaran kardiorespirasi akibat perubahan biologi yang terjadi pada berbagai sistem di dalam tubuh.
- Pasien stroke memiliki nilai kebugaran kardiorespirasi yang lebih rendah dibandingkan normal, di bawah ambang batas untuk melakukan instrumental aktivitas hidup sehari-hari
- Latihan fisik telah terbukti mampu meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada populasi stroke.
- Selain latihan aerobik maka perlu ditambahkan latihan resistensi ekstremitas atas untuk meningkatkan kebugaran.
1. Brandstater ME. Stroke Rehabilitation.
In: Joel A. DeLisa. Physical Medicine & Rehabilitation, Principles and
Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins,
2005. p. 1655-1676.
2. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation
in Stroke Syndrome. In: Randall L. Braddom. Physical Medicine &
Rehabilitation. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 2007.
p. 1175-1212.
3. Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. Demos, 2004
4.
Ivey
EM, Macko RF, Ryan AS, Hafer-Macko CE. Cardiovaskular health and fitness after
stroke. Top Stroke Rehabil 2005:12(1):1-16
5.
Billinger SA, Taylor JM, Quaney BM. Cardiopulmonary
response to exercise testing in people with chronic stroke: a retrospective
study. Stroke research and treatment. Vol .2012
6.
Dawes H. Neurological
and neuromuscular disorders, a guide to
pathological processes and primary
symptoms. In: Exercise physiology in special population. Elsevier. 2008
7.
Stein J. Stroke. In: Frontera WR, Silver JK. Essential of
physical medicine and rehabilitation. 2nd ed. Hanley and Belfus. 2002
8.
Billinger SA, Coughenour E, MacKay-Lyons MJ, Ivey FM.
Reduced cardiorespiratory fitness after stroke:biological consequences and
exercise-induced adaptation. Stroke research and treatment. Vol .2012
9.
Cooper CB, Storer TW. Exercise testing and
interpretation. Cambridge University Press.2008
10.
Tang A, Sibley KM, Bayley MT, McIlroy W, Brooks D. Do
functional walk test reflect cardiorespiratory fitness in sub acute stroke.
Journal of neuroengineering and rehabilitation. 2006:3:23
11.
Arsura E. Evaluating cardiorespiratory fitness after
stroke, does the best provide less. Chest 2005;127;1473-1474
12.
Moldover JR, Stein J, Krug PG. Cardiopulmonary
physiology. In: Gonzales EG, Myers SJ, Edelstein JE, Lieberman JS, Downey JA
editors. Physiological basis of rehabilitation medicine. 3rd ed.
Butterworth Heinemann. 2001.169-90
13. DeLisa JA,
Gans BM. Physical Medicine
& Rehabilitation: Principles and Practice. 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2005
14. Thompson WR
editor. ACSM’S Guideline for exercise testing and prescription. 8th ed.
Wolters Kluwer. 2009
15.
Tamin TZ. Model dan efektivitas latihan endurans
untuk peningkatan kebugaran penyandang disabilitas intelektual dengan obesitas.
Disertasi. Universitas Indonesia. 2009.
16. Gordon NF,
Gulanic M, Costa F, Fletcher G, Franklin BA, Roth EJ,et al. Pysical activity
and exercise recommendation for stroke survivors. American Heart Association
Scientific Statement. Circulation. 2004.
17. Macko RF,
Smith GV, Dobrovolny L, Sorkin JD, Goldberg AP, Silver KM. Treadmill Training
improves fitness reserve in chronic stroke patients. Arch Phys Med Rehabil. Vol
82, July 2001
18. Yang A, Lee
SD, Su CT, Wang JL, Lin KL. Effects of exercise intervention on patients with
stroke with prior coronary artery disease: aerobic capacity, functional ability
and lipid profile: a pilot study. J Rehabil Med. 2007