Tuesday, 13 December 2011

Latihan Fisik Untuk Meningkatkan Kebugaran Kardiorespirasi Pada Populasi Stroke.

Oleh:
Vanda Mustika


PENDAHULUAN

Stroke merupakan sindrom klinis yang ditandai oleh gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang mengalami gangguan, yang timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam). Stroke juga didefinisikan sebagai cedera otak non trauma, yang disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak, yang menyebabkan defisit neurologis mendadak ditandai oleh gangguan kontrol motorik, terganggunya sensasi, gangguan kognitif dan bahasa, disequlibrium, atau koma. Lesi fokal di otak yang terjadi pada pasien stroke bisa menimbulkan berbagai defisit neurologis, seperti hemiparesis, kehilangan hemisensori, afasia, hemianopia, dsb.1,2  Hemiparesis dan pemulihan motorik merupakan impairmen yang paling sering dipelajari, karena hampir 88% pasien stroke akut mengalami hemiparesis.3
Tujuan dari rehabilitasi pasien stroke adalah untuk mencapai tingkat kemandirian fungsional tertinggi, meminimalkan disabilitas, mengembalikan pasien dengan sukses ke rumah, keluarga dan komunitas serta mengembalikan kehidupan yang berarti dan bahagia. Tujuan tersebut dapat terwujud melalui berbagai terapi untuk mengurangi impairmen; latihan fungsional untuk sebagai kompensasi impairmen; penggunaan alat bantu untuk menggantikan fungsi yang hilang. 1,2
Stroke merupakan penyebab utama disabilitas dan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Setelah terserang stroke, pasien tetap memiliki risiko tinggi untuk terjadinya serangan stroke kembali dan juga infark miokardium. Hampir sepertiga pasien stroke mengalami serangan stroke kembali dalam 5 tahun, meskipun telah diberikan pengobatan yang optimal. Komorbid kondisi kardiovaskular terjadi pada 75% pasien stroke, yang menjadi penyebab kematian utama pada pasien yang pernah mengalami stroke. 4
Kebugaran kardiorespirasi bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, komposisi tubuh serta ada atau tidaknya penyakit kronik atau disabilitas. Pada pasien stroke sangat terjadi dekondisi kardiorespirasi dan muskular, literatur yang ada menyebutkan bahwa kebugaran kardiorespirasi berkurang hampir 50% bila dibandingkan dengan populasi seusia dengan pola hidup sedentary. Masih belum jelas apakah penurunan kebugaran ini terjadi karena kondisi premorbid, efek langsung dari stroke atau akibat inaktivitas fisik pasca stroke. Namun apapun penyebabnya, penting untuk menilai kapasitas pasien stroke untuk penyesuaian respon fisiologis saat memberikan intervensi rehabilitasi yang agresif.  4,5
Gambaran fisiologis yang mendasari penurunan kebugaran metabolik pada fase kronik stroke meliputi atrofi otot besar, terganggunya fenotip molekular otot, peningkatan luas area lemak intramuskular, peningkatan marker inflamasi jaringan dan terganggunya aliran darah perifer. Bukti epidemiologis memaparkan bahwa penurunan kebugaran kardiorespirasi dan perubahan biologis sekunder pada otot dapat menyebabkan sindrom metabolik yang mengakibatkan risiko morbiditas dan mortalitas meningkat. 4
Memelihara tingkat kebugaran kardiorespirasi merupakan salah satu hal penting pada pasien stroke kronik. Dekondisi fisik menyebabkan pasien stroke kronik memiliki risiko tinggi untuk terkena sindrom metabolik yang berhubungan dengan perubahan karakteristik jaringan yang mengalami hemiparetik. Namun kebugaran kardiorespirasi serta pentingnya kebugaran yang dapat dimodifikasi masih menjadi topik yang jarang dibahas pada populasi ini. 4
Kebugaran kardiorespirasi merupakan pemeriksaan yang meliputi penilaian kemampuan jantung, paru, pembuluh darah dan otot skeletal yang bekerja bersama untuk mengantar oksigen dan mengeluarkan produk metabolik selama latihan, secara tidak langsung menggambarkan kesehatan kardiorespirasi, metabolik dan fungsional. Paling sering kebugaran kardiorespirasi ini diperiksa dengan menggunakan gambaran metabolik untuk analisis gas dan peralatan latihan (misalnya treadmill, recumbent stepper, atau ergometer cycle untuk menentukan kapasitas konsumsi oksigen puncak (VO2 peak) dan dinilai selama latihan. 5
Beberapa penelitian telah membuktikan terjadinya peningkatan kapasitas aerobik dan kebugaran kardiorespirasi setelah mengikuti latihan aerobik baik pada fase awal maupun lanjut. Latihan kardiorespirasi telah terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kebugaran dan mobilitas fungsional dibanding fisioterapi reguler. Beberapa bentuk latihan seperti hidroterapi, cycling dan treadmill dapat dikerjakan oleh pasien dengan beberapa tehnik yang dapat membuat pasien stroke mampu untuk mengerjakannya, seperti mengikat kaki selama cycling dan bodyweight support selama berjalan. 6

STROKE DAN SINDROM DEKONDISI PADA STROKE

Definisi Stroke
Stroke merupakan sindrom klinis yang ditandai oleh gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang mengalami gangguan, yang timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam). Stroke juga didefinisikan sebagai cedera otak non trauma, yang disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak, yang menyebabkan defisit neurologis mendadak ditandai oleh gangguan kontrol motorik, terganggunya sensasi, gangguan kognitif dan bahasa, disequlibrium, atau koma.1,2,7

Gejala Stroke
Kelemahan, kesulitan bicara atau mengunyah, afasia, gangguan kognitif, gangguan sensorik atau gangguan penglihatan merupakan gejala stroke yang paling sering timbul dan defisit pada area ini sering menetap setelah rehabilitasi awal. 7

Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yang mencakup evaluasi status mental, saraf kranial, sensasi, refleks tendon dalam, refleks patologis, kekuatan motorik dan koordinasi, tonus otot, dan mobilitas fungsional (duduk, transfer, ambulasi). Penilaian mood dan afek penting dilakukan mengingat tingginya prevalensi depresi pasca stroke. Lingkup gerak sendi pada ekstremitas yang terlibat juga harus diperiksa, pada stroke dengan hemiplegik sering terjadi kontraktur plantar fleksi ankle dan kontraktur ekstremitas atas.7

Keterbatasan fungsional
Manifestasi yang sering terjadi pada stroke berupa kesulitan untuk berjalan, melakukan aktivitas hidup sehari-hari, bicara dan menelan. Gangguan kognitif (memori, atensi, persepsi visual-spasial) dan gangguan komunikasi akibat afasia atau disartria mungkin terjadi. Impairmen yang terjadi pada stroke tergantung pada anatomi yang terlibat. 7
Sebagai akibat dari terjadinya impairmen ini, sebagian individu menjadi tidak mampu menyetir mobil atau menggunakan transportasi publik. Kesulitan komunikasi dapat membawa kepada isolasi sosial. Beberapa individu membutuhkan supervisi akibat gangguan kognisi. Penderita stroke yang berusia lebih dari 65 tahun yang dievaluasi 6 bulan setelah stroke, 15% tidak dapat berjalan tanpa bantuan, 26% mandiri dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan 26% dirawat di rumah perawatan. 7

Rehabilitasi
Program rehabilitasi yang diberikan perlu disesuaikan dengan keparahan dan bentuk impairmen yang terjadi akibat stroke. Untuk individu dengan stroke sedang hingga berat, diperlukan rehabilitasi komprehensif multidisiplin bila perlu dilakukan rawat inap khusus untuk rehabilitasi. Pasien dengan defisit yang lebih sedikit dan terisolasi dapat langsung pulang setelah perawatan fase akut dan menjalani program rehabilitasi rawat jalan. 7
Latihan
Program latihan terapeutik biasanya fokus pada fungsional, dengan penekanan pada pemulihan mobilitas fungsional serta kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Bagaimana cara melakukan tehnik kompensasi serta edukasi ke keluarga penting dilakukan untuk membantu pasien kembali ke rumah. Terdapat bukti bahwa latihan terapeutik dapat meningkatkan reorganisasi kortikal setelah stroke, dengan perbaikan pada kontrol motorik dan aktivitas fungsional. 7

Tingkat Kebugaran Pasien Stroke
Setelah menyelesaikan serangkaian terapi fisik, belum ada yang memberikan rekomendasi empiris untuk melakukan latihan rutin selama periode stroke kronik. Pasien kemudian mengalami penurunan fungsional dan kardiovaskular sebagai akibat inaktivitas fisik ditambah dengan usia yang makin bertambah dalam kondisi disabilitas kronik. Data dari Framingham dan studi prospektif lain mengatakan bahwa hemiparetik terjadi pada setengah penderita stroke, dan merupakan defisit neurologis yang paling jelas berperan dalam disabilitas jangka panjang pada populasi ini. Suatu studi pada pasien stroke pada tahun 1970 melaporkan bahwa energi yang dibutuhkan untuk gait hemiparetik meningkat 55-100% dibandingkan dengan kontrol yang normal. Setelah dilakukan observasi, pasien stroke dengan hemiparetik tidak mampu untuk mempertahankan kecepatan berjalan efisien dengan nyaman, yang menandakan endurans yang rendah yang membatasi mobilitas fungsional mereka. 4
Dalam uji ambulasi 50 yard pasien stroke usia lanjut menunjukkan intoleransi aktivitas yang bermakna meliputi sesak, perlambatan yang progresif serta deksteritas motorik yang memburuk, yang menggambarkan dekondisi membatasi fungsi ambulasi dan membahayakan keamanan gait. 4
Pada pemeriksaan kapasitas latihan pada pasien stroke kronik dengan hemiparetik yang dinilai dengan spirometri open circuit dengan ergometri sepeda, terlihat bahwa konsumsi oksigen rata-rata lebih rendah dibandingkan nilai orang normal seusianya. Hasil ini kemudian didukung dengan penelitian yang menggunakan uji treadmill, yang merupakan metode evaluasi yang lebih dipilih untuk menilai kapasitas aerobik puncak. Berbagai sumber menunjukkan adanya kombinasi peningkatan kebutuhan energi pada gait hemiparetik dan kapasitas latihan puncak yang rendah, yang menghasilkan cadangan kebugaran fisiologis yang menurun. 4
Kapasitas aerobik rendah dan fungsi AKS pada Stroke Kronis

Tubuh manusia pada saat istirahat mengkonsumsi oksigen 3,5 mL/kg/min. Aktivitas fisik apapun selain istirahat membutuhkan oksigen lebih, tergantung pada intensitas usaha yang dilakukan. Ahli fisiologi latihan mengukur intensitas usaha untuk melakukan aktivitas dengan istilah perkalian dari  konsumsi oksigen istirahat atau metabolik equivalen (METS). Contohnya 1 MET setara dengan konsumsi oksigen 3.5 mL/kg/min, sementara 3 METS setara dengan 10.5 mL/kg/min, atau 3 kali saat istirahat. Perhitungan MET ini berhubungan dengan berbagai tingkat aktivitas fisik yang memaparkan aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental biasanya membutuhkan 3 METS konsumsi oksigen, dan AKS yang lebih berat membutuhkan sekitar 5 METS. MET yang dipublikasikan untuk berbagai aktivitas tidak memperhitungkan adanya disabilitas, yang biasanya meningkatkan energi yang dibutuhkan berdasarkan inefisiensi motorik kasar dan faktor lain yang berhubungan. Misalnya berjalan pada tanah datar biasanya menggunakan 2 – 2,5 METS pada orang sehat non stroke. Namun berdasarkan hasil penelitian pasien stroke dapat menggunakan 3+ METS saat berjalan di tanah datar. Hal ini akibat rendahnya efisiensi gerakan akibat peningkatan kebutuhan energi pada gait hemiparetik.4

Selain itu, ada satu hal lain yang relevan ketika mempertimbangkan tingkat kebugaran aerobik puncak pada pasien stroke. Hal ini berkaitan dengan pada saat mana dalam menuju puncak tubuh beralih ke produksi energi anaerobik dari oksidatif murni atau aerobik. Secara khusus, hal ini berguna untuk mempertimbangkan proporsi tingkat konsumsi oksigen puncak di mana kontraksi otot dapat terus dipertahankan melalui produksi energi aerobik atau oksidatif. Setelah titik ini dilampaui, tubuh bergeser ke metabolisme anaerobik untuk produksi energi. 4
Dasar fisiologis untuk fatigue paling sering berkaitan dengan tingkat usaha ketika kebutuhan oksigen melebihi ambang batas yang disebut anaerobik (juga disebut sebagai ambang ventilasi atau ambang laktat). Tingkat kerja mekanik yang lebih rendah dapat diatasi sendiri oleh jalur metabolisme aerobik atau oksidatif, dimana ADP adalah terfosforilasi oksidatif untuk menghasilkan ATP, bentuk energi yang dapat digunakan untuk kontraksi otot. Melalui tingkat aktivitas yang lebih tinggi akan memerlukan jalur anaerob. Metabolisme anaerob menghasilkan laktat, yang menyebabkan kelelahan lebih cepat. Mempertahankan aktivitas di atas ambang anaerob menyebabkan kelelahan; semakin tinggi berada di atas ambang batas, semakin cepat kelelahan terjadi. Jadi, berdasarkan definisi, kelelahan dapat terjadi baik pada tingkat konsumsi oksigen puncak atau dengan aktivitas yang berkepanjangan di atas ambang batas. Hal ini disebabkan peningkatan eksponensial laktat, yang mengganggu kemampuan individu untuk kontraksi kelompok otot yang diperlukan secara efektif. 4

Perubahan akibat stroke:
¨       Regulasi kardiovaskular setelah stroke
Fungsi kontrol otonom jantung. Sistem saraf pusat (parasimpatik dan simpatik) mengatur denyut jantung, kontraktilitas jantung, tekanan darah, dan tonus vasomotor pembuluh darah. Gangguan yang terkait dengan kontrol otonom aliran darah dan regulasi jantung dapat terjadi setelah stroke, khususnya jika stroke terjadi sekitar parietalis dan insular korteks. Satu penelitian melaporkan bahwa pasien dengan stroke insular kiri mengalami peningkatan penyakit jantung seperti gagal jantung dalam waktu satu tahun setelah stroke. Komplikasi jantung ini bisa memiliki efek yang signifikan terhadap fungsi jantung selama aktivitas dan olahraga. Juga diketahui bahwa pasien pasca stroke memiliki frekuensi denyut jantung yang lebih rendah dan konsumsi oksigen pada uji latih usaha puncak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan individu sehat seusianya. Hal ini mungkin akibat dari gangguan kontrol otonom sistem kardiovaskular selain pemberian terapi farmakologis (beta blocker). 8
¨       Fungsi respirasi setelah stroke
Meskipun tidak semua pasien setelah stroke memiliki penyakit paru yang jelas, respirasi dapat menurun sebagai akibat langsung dari stroke itu sendiri (terutama stroke batang otak), komplikasi yang terkait (misalnya, kelemahan otot-otot pernapasan, terganggunya mekanik pernapasan), komorbiditas (misalnya, penyakit paru obstruktif kronik, disfungsi kardiovaskular), atau faktor gaya hidup (misalnya, inaktivitas fisik, merokok). Kelelahan yang berlebihan yang dialami oleh beberapa orang setelah stroke mungkin disebabkan karena insufisiensi respirasi dengan manifestasi kapasitas difusi paru yang rendah, ketidakcocokan ventilasi-perfusi, atau penurunan volume paru (misalnya, kapasitas vital, kapasitas total paru, kapasitas inspirasi dan inspirasi maksimal, dan volume cadangan ekspirasi). Mekanik pernapasan terganggu dengan adanya restriksi dan paradoksal dinding dada dan depresi diafragma telah juga dilaporkan. Disfungsi ekspirasi berhubungan dengan tingkat kerusakan motorik (misalnya, paresis hemidiafragma dan otot interkostal serta abdomen). Keterbatasan inspirasi, mempunyai manifestasi berupa penurunan tekanan inspirasi maksimal berkurang, yang terkait dengan berkurangnya pengembangan dinding dada akibat terbentuknya kontraktur sangkar iga secara bertahap. 8
Gangguan fisiologi di atas mengurangi cadangan ventilasi (perbedaan antara ventilasi maksimal yang tersedia dengan ventilasi yang diukur pada akhir latihan) yang memiliki kontribusi terhadap  kebugaran kardiorespirasi yang rendah pada populasi stroke. Pada puncak latihan, pasien stroke memiliki ventilasi menit dan volume tidal yang secara signifikan lebih rendah, namun frekuensi pernapasan tidak lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Penurunan volume paru dan gangguan gerakan dinding dada tidak hanya menyebabkan penurunan endurans latihan, napas pendek, dan risiko perilaku sedentary, tetapi juga meningkatkan risiko stroke berulang. Oleh karena itu, harus dilakukan intervensi latihan untuk meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan fungsi paru . 8
¨       Penurunan massa otot
Tidak diragukan lagi, penurunan massa otot berperan dalam kemampuan pasien untuk menggunakan oksigen. Jumlah jaringan yang aktif secara metabolik bertanggung jawab dalam jumlah oksigen yang digunakan. Ivey at al meneliti pada pasien stroke terdapat hubungan yang kuat antara massa otot paha yang dinilai dengan dual-energi x-ray absorptiometry (DEXA) dan puncak VO2. VO2 ini terkait dengan massa otot dari kedua paha (r = 0,64, p <.001), dengan massa otot dapat memprediksi lebih dari 40% dari varians dalam puncak aerobik fitness. Pemeriksaan CT scan pertengahan paha digunakan untuk menggambarkan betapa parahnya atrofi yang disebabkan oleh hemiparesis kronis. Terdapat atrofi otot besar ekstrim di pertengahan paha paretic kaki CT scan, menunjukkan daerah otot 20% lebih rendah dibandingkan dengan paha nonparetic (p <.0001). Selain itu, daerah lemak intramuskular adalah 25% lebih besar di paha paretik dibandingkan dengan paha nonparetik (p<.0001). Peningkatan lemak intramuskular dapat dikaitkan dengan resistensi insulin dan komplikasinya, sdrta berhubungan dengan kebugaran kardiorespirasi dan fungsi. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa tidak hanya paha yang mengalami masalah tetapi juga otot-otot lain di seluruh sisi paretik bisa mengalami perubahan serupa, dengan dampak sistemik pada metabolisme tubuh seluruhnya. 4, 8
¨       Perubahan komposisi jaringan
Selain perubahan komposisi makroskopis, perubahan di tingkat seluler di jaringan pada sisi paretik juga memiliki kontribusi untuk terjadinya kebugaran yang buruk dan memburuknya risiko penyakit penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD). Sehingga bukan hanya kuantitas dari jaringan otot yang berhubungan dengan stroke kronis tetapi juga kualitas jaringan yang memberikan kontribusi untuk fungsional dan gejala sisa metabolik. Sebagai contoh, distribusi rantai berat myosin (MHC) isoform dalam jaringan paha, yang yang dapat merupakan gambaran proporsi jenis serat. Otot rangka terdiri dari serat-serta yang mengekspresikan MHC isoform berbeda. Serat lambat (tipe I) MHC memiliki fungsi oksidatif yang lebih tinggi, yang lebih tahan kelelahan, dan lebih sensitif terhadap ambilan glukosa yang dimediasi insulin. Serat cepat (tipe II) MHC direkrut untuk gerakan yang lebih kuat, lebih cepat lelah, dan kurang sensitif terhadap aksi insulin. Pewarnaan ATPase rutin pada pH 4,6 dan elektroforesis gel MHC dari biopsi otot kaki paretik pada 13 pasien stroke menunjukkan peningkatan proporsi serat tipe cepat (tipe II). Lebih lanjut, analisis densitometri elektroforesis gel MHC menganalisis biopsi vastus lateralis bilateral menunjukkan proporsi meningkat  signifikan untuk tipe cepat pada sisi paretik tersebut (68% ± 14%, rentang 46-88% dari total MHC) dibandingkan kaki nonparetic (50% ± 13 %, rentang 32%-76%, p <0,005). Temuan ini kontras dengan proporsi yang relatif sama dari serat tipe lambat dan cepat pada individu tanpa stroke. 4,8
¨       Gangguan aliran darah perifer
Terganggunya aliran darah kaki sisi paretik pada stroke kronis dapat merupakan fitur klinis lain yang terkait dengan memburuknya kebugaran kardiorespirasi dan risiko CVD.  Aliran darah yang adekuat ke perifer sangat penting untuk ekstraksi oksigen efektif selama kerja fisik. Jika otot-otot bekerja tidak memiliki akses yang tepat untuk darah beroksigen, mereka tidak dapat memanfaatkan oksigen untuk produksi energi, sehingga mengurangi kemampuan untuk mempertahankan aktivitas fisik. Jadi, kita menganggap perubahan hemodinamik yang menyertai hemiparesis menjadi sangat penting dalam hal berkurangnya VO2peak dan kebugaran kardiorespirasi. 4
Ivey et al membandingkan aliran darah kruris saat istirahat di kaki paretik dan nonparetik dari 19 pasien stroke dengan plethysmography strain gauge. Penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam aliran darah kruris saat istirahat di sisi paretik dan nonparetik (2,3 ± 0,2 vs 3,4 ± 0,2 ml/100 ml / menit, p <.001). Ada perbedaan 32% dalam aliran darah istirahat di kedua sisi. Selain itu, aliran darah postischemic reaktif hyperemic adalah 35% lebih rendah pada kaki yang terkena (13,5 ± 1,6 vs 8,8 ± 1,4, p <.001). 4
Pada stroke kronis, aliran darah pada sisi paretik secara signifikan lebih rendah saat istirahat dan juga selama latihan, jika dibandingkan dengan ekstremitas nonparetik. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa berkurangnya aliran darah terjadi akibat penurunan aktivitas fisik, yang dapat mempengaruhi kecepatan aliran darah, fungsi endotel, dan diameter arteri. Sebuah studi lain menyatakan bahwa telah terjadi remodeling pembuluh darah di arteri femoralis di sisi paretik setelah stroke. 8
Diameter arteri femoralis dan kecepatan aliran darah secara signifikan berkurang pada sisi paretik jika dibandingkan dengan sisi nonparetik. Ketebalan dinding arteri femoralis juga lebih besar secara signifikan di tungkai paretik, yang berpotensi menimbulkan gangguan fleksibilitas dinding pembuluh darah untuk dilatasi selama aktivitas untuk mengalirkan darah yang memadai dan mengantarkan oksigen. 8
¨       Memburuknya status metabolisme tubuh secara keseluruhan
Vaskularisasi unilateral dan perubahan metabolik pada otot dapat menyebabkan memburuknya risiko kardiovaskular dengan menyebabkan sindrom metabolik. Ivey et al mengumpulkan data cross-sectional terhadap kejadian diabetes dan toleransi glukosa terganggu pada semua pasien stroke kronis yang diskrining selama beberapa tahun terakhir. Sekitar 35% dari pasien stroke saat itu memiliki diabetes dengan riwayat medis pada saat datang. Selain itu, hiperglikemia puasa dan postprandial sangat lazim pada pasien yang tidak diidentifikasi sebagai diabetes dari riwayat sebelumnya. Ivey menunjukkan bahwa laju metabolisme glukosa abnormal dapat mencpai 80% pada pasien stroke kronis (Ivey, unpublished data, 2004). 4
¨       Berubahnya aktivasi jalur inflamasi pada otot hemiparetik
Mekanisme biologis yang mendasari atrofi otot dan gangguan fungsi metabolisme setelah stroke hemiparetik belum diketahui dengan baik. Dalam populasi nonneurologis, meningkatnya TNFα dan aktivasi faktor nuklir ekspresi kappa beta telah dikaitkan dengan sarcopenia akibat peningkatan usia dan atrophy disuse. Selain itu, TNFα telah dikaitkan dengan diabetes dan syndrom metabolik. Hubungan ini disebabkan sebagian oleh aksi langsung TNFα dalam memblokir sinyal insulin, yang menghasilkan resistensi insulin in vivo yang reversibel dengan pemberian receptor TNFα. Oleh karena itu, mulai diteliti aktivasi jalur inflamasi dalam otot hemiparetik, dan terdapat bukti awal bahwa ekspresi TNFα meningkat dibandingkan tungkai nonparetik. Dalam populasi disabilitas nonneurologis, yang meliputi orang tua yang lemah dan individu dengan gagal jantung, latihan otot rangka mengurangi TNFα untuk meningkatkan fungsi metabolik. Bila dikumpulkan, studi ini mendukung untuk menyelidiki lebih lanjut efek dari latihan untuk meningkatkan jalur inflamasi otot dan meningkatkan hasil rehabilitasi setelah stroke. 4

 UJI LATIH PADA PASIEN STROKE
  
Berbagai metode digunakan untuk menilai respon terhadap latihan, dikenal 2 istilah dalam uji latih ini: 9
1.  Uji latih performa
Uji latih ini dilakukan pada pasien yang sehat dengan tujuan menilai kapasitas aerobik atau penilaian kebugaran, peresepan latihan dan menilai respon terhadap latihan serta modifikasi gaya hidup.
2. Uji latih klinis
Dilakukan pada subyek yang datang dengan tanda dan gejala penyakit dengan tujuan untuk diagnosis, penilaian risiko, memantau kemajuan serta respon terhadap intervensi.

Baik uji latih performa maupun uji latih klinis keduanya dapat dilakukan pada seting lapangan ataupun laboratorium. Pemilihan seting uji ini tergantung pada tujuan uji dilakukan, perlunya penilaian respon terhadap latihan dari segi densitas, presisi dan akurasi, instrumen apa yang tersedia dan personel yang melakukan. Protokol yang digunakan baik uji laboratorium maupun uji lapangan, menggambarkan bagaimana uji dilaksanakan. 9 Berdasarkan intensitas yang dilakukan uji latih dibagi dalam dua kelompok yaitu uji maksimal dan submaksimal.

Uji submaksimal
Uji submaksimal ialah uji dengan peningkatan intensitas lebih rendah daripada uji latih maksimal yang ditandai dengan denyut jantung sebesar 85% dari perkiraan denyut jantung maksimal. Uji submaksimal dapat dikerjakan baik pada uji latih performa maupun uji latih klinis. Uji ini juga dapat dikerjakan pada seting laboratorium ataupun lapangan, dapat bersifat incremental ataupun konstan, namun tidak dapat menilai kapasitas latihan maksimal secara langsung. Untuk mendapatkan prediksi kapasitas aerobik (VO2max) maka diasumsikan dengan menggunakan rumus atau grafik. 9

Uji maksimal
Uji latih maksimal adalah uji dengan peningkatan intensitas usaha sampai tingkat tertentu sampai batas tidak terjadi lagi kenaikan ambilan oksigen. Hal ini ditandai dengan kelelahan atau gejala yang menghambat dilanjutkannya latihan serta tidak lagi terjadi kenaikan denyut jantung. Uji maksimal atau hampir maksimal juga dapat digunakan pada uji latih performa maupun uji latih klinis, serta dapat dilakukan untuk uji lapangan maupun uji laboratorium. Prediksi VO2max  akan lebih baik karena dilakukan pengambilan data maksimal yang aktual. Bila tersedia instrumen untuk pemeriksaan pertukaran gas, maka kapasitas aerobik dapat dinilai (VO2max). Karena subyek diminta untuk mengerjakan sampai batas simptomatik atau subyektif, uji ini sangat tergantung pada usaha subyek. 9
Uji latih lapangan: 9
  • Uji jalan atau berlari
  • Step test
  • Shuttle walk atau berlari
Uji laboratorium:
  • Treadmill
  • Cycle
  • Arm ergometer


Uji treadmill VO2peak pada pasien stroke
Jumlah oksigen yang dikonsumsi selama latihan dengan usaha puncak sering digunakan sebagai pemeriksaan kebugaran umum serta memiliki hubungan yang baik dengan fungsi secara umum pada pasien stroke. 4
Pertama kali dilakukan uji toleransi treadmill pada kemiringan 0 derajat untuk menilai keamanan gait serta menentukan target kecepatan berjalan untuk uji treadmill dengan usaha puncak nantinya. Pasien stroke setidaknya harus menyelesaikan 3 menit berturut-turut pada kecepatan > 0,5 mph untuk diperbolehkan melanjutkan ke uji stres kardiak treadmill tanpa spirometri open circuit. Individu yang mampu mencapai intensitas latihan yang adekuat tanpa menunjukkan tanda-tanda iskemik miokardial yang signifikan atau kontraindikasi lain untuk latihan dapat melanjutkan dengan uji VO2 puncak. Kapasitas latihan puncak diperiksa dengan spirometri open circuit yang dilaksanakan selama kecepatan konstan, berjalan di treadmill yang ditingkatkan secara progresif hingga timbul fatigue. 4
Uji ini telah terbukti aman dan dapat diandalkan untuk pasien stroke dengan disabilitas kronik. Ada yang menganggap gangguan gait dan keseimbangan sebagai kontraindikasi uji treadmill. Namun dengan menggunakan protokol kecepatan konstan yang disesuaikan dengan kecepatan gait pasien, peningkatan beban kerja dengan sudut meningkat pada treadmill yang mengontrol kecepatan turun 0,1 mph memungkinkan kita untuk melakukan uji kardiorespirasi usaha puncak pada kebanyakan pasien stroke hemiparetik. Bahkan, lebih dari 95% pasien stroke telah mentoleransi uji latih usaha puncak dan mencapai denyut jantung puncak 85% ± 14% dari denyut jantung maksimal sesuai perkiraan usia tanpa efek samping. Semua pasien yang berhasil menyelesaikan uji latih dapat mencapai intensitas latihan yang adekuat untuk intensitas latihan AEX rendah-sedang. Saat protokol uji ini digunakan, berhasil dideteksi iskemia miokard tanpa gejala dan reversibel pada sekitar 28% dari pasien stroke yang tidak memiliki riwayat penyakit arteri koroner (CAD). 4
  

Uji jalan 6 menit pada  pasien stroke
Baku emas untuk mengetahui kebugaran kardiorespirasi adalah dengan pemeriksaan konsumsi oksigen maksimal selama penilaian uji latih. Namun, impairmen yang terjadi akibat stroke seperti gangguan kekuatan otot serta gangguan sensorik dapat membatasi pelaksanaan uji latih maksimal pada populasi pasca stroke. Uji latih juga mahal serta membutuhkan waktu cukup lama dan peralatan uji latih ini di setiap tempat. Sebagai alternatif, uji jalan didesain sebagai pemeriksaan status fungsional yang obyektif dan telah digunakan sebagai pemeriksaan pengganti untuk memeriksa kebugaran kardiorespirasi pada populasi tertentu. Pada individu dengan gangguan kardiorespirasi yang korelasi jarak tempuh uji jalan 6 menit (6MWT) dan VO2max bervariasi dari 0,51 hingga 0,90. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji jalan pada pasien stroke, sehingga korelasi antara jarak tempuh dengan kapasitas aerobik belum banyak ditegakkan, namun korelasinya bervariasi mulai dari tidak ada korelasi hingga korelasi yang rendah (0.40, p < 0.005) pada pasien stroke kronik dan korelasi tinggi (0.84, p < 0.001) pada stroke subakut. 10
Tang et al (2006) membandingkan jarak tempuh 6MWT dengan uji ergometer cycle pada 36 pasien stroke. Ergometer cycle dengan posisi semi berbaring digunakan untuk uji latih maksimal untuk menghindari keterbatasan mencapai kapasitas aerobik maksimal bila menggunakan treadmill. Protokol yang digunakan dimulai dengan beban 10 watt, 50 rpm, dengan beban dinaikkan setiap menit. Hasilnya terdapat korelasi sedang antara jarak tempuh 6MWT dengan VO2peak  (r=0.56, p<0.001). Durasi uji latih maksimal juga memiliki korelasi sedang dengan jarak tempuh 6MWT (r = 0.60, p < 0.001). 10
Uji Ergometer Cycle pada pasien stroke
Pada populasi sehat, VO2max yang ditentukan dengan ergometer cycle sedikit lebih rendah daripada yang dicapai dengan uji treadmill. Selain itu uji ini mungkin tidak cocok untuk digunakan pada pasien usia lanjut, pasien lemah dan dengan keterbatasan berat, klinisi mungkin menganggap bahwa uji 6MWT lebih akurat menggambarkan kebugaran kardiorespirasi. Namun pada populasi stroke kronik, ergometer cycle VO2max rata-rata adalah 22,0 + 4,8 mL/kg/min yang dapat memberikan estimasi VO2max lebih baik daripada uji 6MWT dengan VO2max rata-rata 14,7 + 3,3 mL/kg/min sehingga ergometer cycle merupakan penanda kebugaran kardiorespirasi yang lebih dapat diandalkan. 11
Terdapat asumsi bahwa populasi yang mengalami kesulitan dengan keseimbangan, kekuatan dan spastisitas dapat diakomodasi lebih baik dengan menggunakan ergometer cycle. Sejalan dengan asumsi ini frekuensi denyut jantung maksimum yang diprediksi sesuai usia pada yang menggunakan ergometer cycle 91,8 + 10,7 % bila dibandingkan dengan 6MWT 65,1 + 8.9%. Tingkat perceived exertion  yang diukur dengan 16 poin skala Borg juga lebih tinggi saat mengerjakan ergometer cycle.11

Kapasitas Kardiorespirasi Pada Pasien Stroke
Billinger et al (2011) melakukan studi retrospektif terhadap 62 pasien stroke, parameter kardiorespirasi yang digunakan adalah VO2peak yang diukur dengan ergometer cycle maupun body reccumbent stepper dan dibedakan laki-laki dan perempuan. Hasilnya setelah dibandingkan dengan data yang terdapat di ACSM’s guidelines for exercise testing and prescription sebagai kontrol, maka didapatkan hasil bahwa hanya 1 orang yang memiliki VO2peak di bawah percentil 1 yang artinya memiliki kebugaran kardiorespirasi yang rendah (poor), 61 sisanya memiliki tingkat kebugaran yang sangat rendah (very poor). Hanya 10 orang yang memiliki VO2peak lebih dari 20 mL/kg/menit, sisanya di bawah itu dimana nilai VO2peak di bawah 20 mL/kg/menit berhubungan dengan keterbatasan fungsi untuk instrumental AKS. 5

 LATIHAN ENDURANS KARDIORESPIRASI PADA PASIEN STROKE
  
Sistem Energi
Sistem energi adalah sistem metabolik yang mencakup serial reaksi biokimia dalam formasi Adenosine Triphosphate (ATP), karbon dioksida dan air. Dimana sel menggunakan energi yang diproduksi dari hasil konversi ATP menjadi Adenosine Diphosphate (ADP) dan Phosphat (P) dalam rangka melakukan  aktivitas metabolik. Sel otot menggunakan energi ini untuk formasi kontraksi cross-bridge aktin myosin. 12
Karbohidrat, lemak, dan protein dapat menghasilkan ATP jika dibutuhkan sebagai bahan bakar tubuh melalui jalur metabolik. Tubuh menggunakan ATP simpanan dan Creatinine Phosphate (CP) bila tubuh memerlukan energi untuk melakukan gerakan tiba-tiba. Energi ini disuplai untuk waktu 10 detik. Sedangkan untuk pengisian kembali suplai CP yang telah digunakan membutuhkan waktu selama 1-2 menit. Keseluruhan proses ini berlangsung secara anaerobik (tidak membutuhkan oksigen), berlangsung cepat dan membutuhkan kekuatan besar. 12
Pada beberapa menit pertama kerja fisik berlangsung metabolisme anaerobik pada CP dan glukosa. Seiring dengan berlanjutnya kerja fisik maka berlangsung metabolisme aerobik pada glukosa dan asam lemak. Pada kerja fisik yang lebih berat dimana VO2 maks ≥ 60% akan terjadi pergeseran kembali ke metabolime glukosa secara anaerobik. 12
Peran asam lemak dalam produksi energi total pada latihan berat bervariasi antara 10-40% tergantung tingkat kerja individu. Akumulasi sitrat yang terbentuk akibat dari oksidasi asam lemak akan menghambat glikolisis fosfofruktokinase guna mempertahankan cadangan glikogen tubuh. Jika kerja fisik bertambah berat dimana penggunaan ATP melebihi hasil metabolisme oksidasi kapasitas otot (berkurangnya oksigen yang menerima ion hidrogen dalam menghasilkan air dan ATP) maka produksi laktat akan meningkat akibat metabolisme anaerobik glukosa. 12
Latihan Aerobik
Latihan adalah kegiatan fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang dan bertujuan untuk meningkatkan kebugaran fisik. Latihan aerobik didefinisikan sebagai latihan yang ritmik, berulang, menggunakan otot-otot besar yang merangsang respon denyut jantung; kegiatannya dapat berupa jalan cepat, jogging, naik sepeda ataupun berenang. 13
Peresepan Latihan Aerobik
Kuantitas atau volume latihan mencakup frekuensi, intensitas, jenis (mode) dan durasi. Dosis minimum dan maksimum latihan harus diukur dengan tepat untuk mendapatkan manfaat latihan. 14
Faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan program latihan aerobik adalah:15
a.       Program disusun secara individu
Oleh karena setiap individu memiliki kapasitas aerobik yang berbeda, maka pemberian program berdasarkan kemampuan masing-masing, sehingga seseorang dengan kapasitas aerobik yang rendah akan diberikan beban yang rendah, dan sebaliknya seseorang dengan kapasitas yang tinggi akan diberi program yang tinggi pula.
b.       Latihan berupa gerakan dinamik
Latihan untuk meningkatkan kapasitas aerobik harus berupa gerakan yang melibatkan kelompok otot besar seperti jalan kaki, berlari, bersepeda, mendayung dan sepak bola. Latihan dinamik akan menyebabkan aliran darah ke otot yang bekerja meningkat dan respon sirkulasi ini berhubungan secara langsung dengan kebutuhan oksigen.
c.       Latihan ditingkatkan secara progresif
Semua latihan untuk meningkatkan kapasitas aerobik hanya efektif bila bebannya ditingkatkan setiap minggu/bulan. Hal ini karena tubuh hanya akan mengadaptasi stres yang lebih besar dari biasanya. Jadi sistem kardiovaskular dan sistem lain yang telah beradaptasi dengan suatu beban tertentu harus diberi beban yang lebih besar dari latihan sebelumnya agar dicapai tingkat adaptasi yang lebih besar lagi.


Frekuensi Latihan
Walaupun volume total aktivitas fisik merupakan faktor utama dalam mencapai manfaat latihan, namun frekuensi aktivitas fisik (misalnya jumlah hari dalam 1 minggu yang digunakan untuk latihan) juga dianggap penting. Manfaat latihan bisa didapatkan pada pasien dengan frekuensi latihan minimal 1 hingga 2 sesi latihan per minggu dengan intensitas sedang atau tinggi. ACSM merekomendasikan frekuensi latihan 3-5 kali per minggu. Terdapat peningkatan kebugaran fisik dengan frekuensi >3 kali per minggu dan mencapai peningkatan yang plateau jika latihan dilakukan >5 kali per minggu. Latihan dengan intensitas tinggi dapat meningkatkan kejadian cedera, sehingga dosis aktivitas fisik ini tidak disarankan untuk orang dewasa pada umumnya. 14

Intensitas Latihan
Terdapat peningkatan manfaat latihan dengan peningkatan intensitas latihan. Ada batasan intensitas minimum yang dapat menghasilkan manfaat kebugaran untuk kebanyakan pasien. Latihan dengan intensitas sedang (40 – 60% VO2R) yang dapat dilihat peningkatan denyut jantung dan pernapasan direkomendasikan sebagai intensitas minimum bagi orang dewasa untuk bisa mendapatkan manfaat latihan. 14
Jenis (mode) latihan
Jenis latihan ini berhubungan dengan intensitas latihan, latihan dapat berupa continous atau intermitten. Latihan dengan intensitas tinggi dapat diberikan secara intermitten dengan diberikan fase istirahat, sedangkan latihan dengan intensitas yang lebih rendah diberikan secara continous.14

Durasi latihan
Durasi latihan merupakan penilaian waktu aktivitas fisik dilakukan misalnya per sesi, per hari atau per minggu, atau dapat juga berdasarkan kalori total yang dikeluarkan. Kuantitas aktivitas fisik dapat dilakukan terus menerus atau intermiten dan diakumulasikan dalam 1 hari dengan durasi aktivitas fisik minimal 10 menit. 14
Jika lama latihan rendah (kurang dari 20 menit per sesi) atau intensitas latihan rendah (kurang dari 60% dari denyut jantung maksimal) maka frekuensi latihan dapat ditingkatkan. Berdasarkan data epidemiologi menyatakan bahwa frekuensi/ durasi latihan minimal yang dibutuhkan untuk mendapatkan manfaat latihan dari aktivitas fisik adalah selama 30 menit dan dilakukan 3 kali/minggu, setara dengan pengeluaran energi 700kcal/minggu; dan aktivitas fisik optimal dilakukan selama 15 menit dilakukan 5-7 kali/minggu, setara dengan pengeluaran energi 2000-3500 kcal/minggu. 14
Respon Fisiologis Latihan Terhadap Sistem Kardiovaskular
Penyebab dari penurunan kapasitas fungsional adalah dilatasi ventrikel kiri, terganggunya fungsi sistolik ventrikel kiri penurunan volume isi sekuncup dan fraksi ejeksi. Mekanisme primer yang bertanggung jawab atas penurunan toleransi latihan ini adalah peningkatan tahanan kapiler yang merangsang reseptor di paru sehingga terjadi sesak. Menurunnya kapasitas pertukaran membran kapiler pada gagal jantung menyebabkan terganggunya pertukaran gas paru yang berhubungan dengan kapasitas latihan dan status fungsional. 12
Respnn fisiologis dengan pemberian latihan: 12
a.       Aliran darah
Pada saat latihan dimulai, pasien mulai berjalan, maka terjadi aktivasi otot-otot terutama tungkai bawah. Maka kebutuhan oksigen pada otot-otot skeletal yang aktif akan meningkat dengan cepat. Kebutuhan ini dipenuhi oleh aktivasi saraf simpatis pembuluh darah, sehingga volume darah menjadi lebih besar ditambah darah dari tempat yang kurang aktif. Hasil metabolisme jaringan otot bertambah, timbul akumulasi asam, CO2 dan peningkatan suhu. Semua perubahan lokal ini memicu vasodilatasi melalui autoregulasi, yang akan menambah aliran darah lebih banyak lagi.
b.       Tekanan darah
Peningkatan tekanan sistolik karena peningkatan cardiac output, darah mengalir lebih cepat, sampai pada jaringan dengan membawa nutrisi. Sedangkan tekanan diastolik tidak dipengaruhi oleh intensitas. Tekanan diastolik biasanya tidak diharapkan meningkat pada latihan, karena jika meningkat 15 mmHg atau lebih adalah indikasi untuk menghentikan latihan. Pada latihan dengan intensitas latihan submaksimal, maka tidak terjadi peningkatan pada diastolik. Bila keadaan steady state dipertahankan, maka  tekanan sistolik menurun dan tekanan diastolik tetap, yang mengindikasikan dilatasi arteriol pada yang aktif, yang akan menurunkan resistensi perifer.
c.       Frekuensi jantung (nadi)
Disebabkan peningkatan tonus vagal dan peningkatan tonus simpatis serta penurunan kadar katekolamin dalam darah. Pada orang yang sudah terlatih, maka frekuensi denyut jantung akan menurun pada saat istirahat atau pada latihan dengan beban submaksimal namun frekuensi denyut maksimal tidak berubah.
d.       Isi sekuncup
Mekanisme isi sekuncup sesuai dengan mekanisme Frank-Starling dimana pengisian darah pada ventrikel kiri selama diastolik lebih banyak sehingga akan membuat volume ventrikel kiri cukup besar, dengan demikian kontraksinya harus lebih kuat untuk mengeluarkan semua isinya.
Isi sekuncup akan meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas latihan. Hal ini karena adanya aktivasi simpatis pada arteri dan arteriol pada daerah yang tidak aktif dan juga aktivasi simpatis vena secara keseluruhan, ditambah dengan otot-otot yang aktif akan berfungsi sebagai pompa yang aktif, membantu aliran balik ke jantung. Peningkatan isi sekuncup ini resiprokal dengan penurunan frekuensi denyut jantung.  
e.       Cardiac output
Cardiac output langsung meningkat, sesuai dengan intensitas latihan. Peningkatan ini merupakan hasil dari perubahan pada frekuensi nadi dan isi sekuncup, yang diperkirakan karena adanya peningkatan kerja. Peningkatan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada otot-otot yang aktif.

Goal rehabilitasi aktivitas fisik/latihan pada pasien stroke berdasarkan American Heart Association: 16
a.       Mencegah komplikasi akibat inaktivitas berkepanjangan
Pasien harus mendapatkan regimen conditioning yang dirancang untuk mencapai kembali tingkat aktivitas sebelum stroke semaksimal mungkin. Untuk pasien rawat inap perlu diberikan latihan orthostastik atau gravitasional (misalnya duduk atau berdiri berkala) selama pemulihan di rumah sakit untuk menghindari penurunan toleransi latihan yang sering terjadi. Setelah keluar dari rumah sakit, latihan dilanjutkan dengan latihan gait hingga program latihan treadmill atau berjalan baik di rumah maupun dalam pengawasan di rumah sakit.
b.       Mengurangi terjadinya stroke berulang dan kejadian kardiovaskular
Mengurangi faktor risiko dapat mengurangi insiden stroke berulang dan kejadian koroner. Program latihan aerobik dapat meningkatkan regulasi glukosa dan mengurangi berat badan serta penimbunan lemak, menurunkan tekanan darah (khususnya pasien hipertensi) serta menurunkan kolesterol total darah, trigliserid serum, dan LDL. Latihan juga meningkatkan kolesterol HDL, meningkatkan rheology darah, variabel hemostatis dan fungsi endotel arteri koroner. Hasil ini sesuai dengan adanya bukti bahwa intervensi dapat memperbaiki stabilitas plak, perbaikan fungsi dinding vaskular ataupun keduanya yang memiliki implikasi penting bagi manajemen pasien setelah stroke atau penyakit vaskular lain. 
c.       Meningkatkan kebugaran kardiorespirasi
Goal rehabilitasi yang ketiga adalah meningkatkan kebugaran aerobik, tidak terbatas oleh keterbatasan fungsional. Telah terbukti bahwa risiko stroke dapat dikurangi dengan aktivitas fisik di waktu luang pada berbagai etnik, usia dan kedua jenis kelamin.

Rekomendasi Program Latihan16
Memberikan resep latihan pada pasien stroke sama dengan memberikan obat, sehingga harus ada dosis optimal yang direkomendasikan sesuai kebutuhan dan keterbatasan individu. Latihan aerobik dapat meliputi ergometer kaki, lengan ataupun kombinasi keduanya pada 40-70% konsumsi oksigen puncak atau heart rate reserve, dengan penilaian usaha sebagai pemantau intensitas. Frekuensi yang direkomendasikan adalah 3-7 hari seminggu dengan durasi 20-60 menit per hari baik terus menerus maupun latihan yang intermitten, tergantung dari tingkat kebugaran pasien. Protokol latihan intermitten dibutuhkan pada minggu-minggu awal rehabilitasi karena tingkat dekondisi pasien yang menurun saat fase pemulihan.

Latihan treadmill dapat memberikan 3 keuntungan pada pasien dengan stroke, pertama membutuhkan kemampuan yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari yaitu berjalan. Yang kedua penggunaan handrail support dan peralatan “unweighting” (misalnya, harnesses) dapat membantu pasien berjalan di atas treadmill yang mungkin tidak dapat dilakukan jika tanpa bantuan. Yang ketiga pada pasien dengan deviasi gait, intensitas latihan dapat disesuaikan.

Untuk memaksimalkan respon conditioning secara umum, maka program pemberian tahan untuk ekstremitas atas juga direkomendasikan untuk pasien stroke yang stabil.

Macko et al tahun 2001 memberikan  latihan treadmill pada 23 pasien dengan gait hemiparetik kronik setelah stroke iskemik. Latihan diberikan selama 40 menit 3 kali seminggu selama 6 bulan. Dilakukan pemeriksaan kapasitas latihan puncak (VO2peak) selama berjalan di treadmill dengan usaha submaksimal, konsumsi oksigen selama berjalan di treadmill dengan usaha submaksimal yang diukur dengan spirometri open circuit dan kapasitas ambulasi sebelum dan setelah 3 dan 6 bulan latihan. Pada pasien yang berhasil menyelesaikan program selama 3 bulan (n=21) didapatkan hasil berupa peningkatan VO2peak (15.4+2.9mL/kg/min menjadi 17.0+4.4 mL/kg/min  (p <.02) dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk ambulasi dengan usaha submaksimal dari 9.3+2mL/kg/min menjadi 7.9+ 1.5mL/kg/min (p<.002), sehingga untuk melakukan usaha treadmill yang sama menurunkan 20% dari kapasitas latihan puncak. Peningkatan VO2peak ini menjadi mendatar setelah 3 bulan namun kapasitas kerja ambulasi puncak meningkat progresif hingga 39% selama 6 bulan (p<.001). Peningkatan ini dapat memperbaiki mobilitas fungsional pada pasien kronik stroke.17
Yang et al pada tahun 2007 melakukan intervensi latihan aerobik pada 15 pasien stroke ringan-sedang dengan gait hemiparetik dengan riwayat penyakit arteri koroner di Taiwan. Subyek diberikan latihan treadmill selama 12 minggu, sebelum dan setelah intervensi dilakukan pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji latih dan kemampuan fungsional dengan menggunakan barthel indeks. Kolesterol total (TC), lowdensity lipoprotein cholesterol (LDL), high-density lipoprotein cholesterol (HDL), triglyceride, dan TC/HDL juga dievaluasi menggunakan enzyme auto-analyser. Setelah latihan terdapat peningkatan konsumsi oksigen puncak (VO2peak) (p < 0.01); kemampuan fungsional juga meningkat signifikan (p < 0.01); nilai kolesterol total, LDL, triglyceride, dan TC/HDL secara signifikan berkurang (p < 0.01). Namun nilai HDL tidak berubah signifikan. Pearson analysis menunjukkan korelasi yang kuat antara peningkatan VO2peak dan penurunan TC/HDL (r = –0.72, p < 0.01). 18

 KESIMPULAN
  •  Pasien stroke mengalami penurunan kebugaran kardiorespirasi akibat perubahan biologi yang terjadi pada berbagai sistem di dalam tubuh.
  • Pasien stroke memiliki nilai kebugaran kardiorespirasi yang lebih rendah dibandingkan normal, di bawah ambang batas untuk melakukan instrumental aktivitas hidup sehari-hari
  • Latihan fisik telah terbukti mampu meningkatkan kebugaran kardiorespirasi  pada populasi stroke.
  • Selain latihan aerobik maka perlu ditambahkan latihan resistensi ekstremitas atas untuk meningkatkan kebugaran.


 DAFTAR PUSTAKA

1.       Brandstater ME. Stroke Rehabilitation. In: Joel A. DeLisa. Physical Medicine & Rehabilitation, Principles and Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins, 2005. p. 1655-1676.
2.       Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndrome. In: Randall L. Braddom. Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 2007. p. 1175-1212.
3.       Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. Demos, 2004
4.       Ivey EM, Macko RF, Ryan AS, Hafer-Macko CE. Cardiovaskular health and fitness after stroke. Top Stroke Rehabil 2005:12(1):1-16
5.       Billinger SA, Taylor JM, Quaney BM. Cardiopulmonary response to exercise testing in people with chronic stroke: a retrospective study. Stroke research and treatment. Vol .2012
6.       Dawes H. Neurological and neuromuscular disorders, a guide to pathological processes and primary symptoms. In: Exercise physiology in special population. Elsevier. 2008
7.       Stein J. Stroke. In: Frontera WR, Silver JK. Essential of physical medicine and rehabilitation. 2nd ed. Hanley and Belfus. 2002
8.       Billinger SA, Coughenour E, MacKay-Lyons MJ, Ivey FM. Reduced cardiorespiratory fitness after stroke:biological consequences and exercise-induced adaptation. Stroke research and treatment. Vol .2012
9.       Cooper CB, Storer TW. Exercise testing and interpretation. Cambridge University Press.2008
10.   Tang A, Sibley KM, Bayley MT, McIlroy W, Brooks D. Do functional walk test reflect cardiorespiratory fitness in sub acute stroke. Journal of neuroengineering and rehabilitation. 2006:3:23
11.   Arsura E. Evaluating cardiorespiratory fitness after stroke, does the best provide less. Chest 2005;127;1473-1474
12.   Moldover JR, Stein J, Krug PG. Cardiopulmonary physiology. In: Gonzales EG, Myers SJ, Edelstein JE, Lieberman JS, Downey JA editors. Physiological basis of rehabilitation medicine. 3rd ed. Butterworth Heinemann. 2001.169-90
13.   DeLisa JA, Gans BM. Physical Medicine & Rehabilitation: Principles and Practice. 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2005
14.   Thompson WR editor. ACSM’S Guideline for exercise testing and prescription. 8th ed. Wolters Kluwer. 2009
15.   Tamin TZ. Model dan efektivitas latihan endurans untuk peningkatan kebugaran penyandang disabilitas intelektual dengan obesitas. Disertasi. Universitas Indonesia. 2009.
16.   Gordon NF, Gulanic M, Costa F, Fletcher G, Franklin BA, Roth EJ,et al. Pysical activity and exercise recommendation for stroke survivors. American Heart Association Scientific Statement. Circulation. 2004.
17.   Macko RF, Smith GV, Dobrovolny L, Sorkin JD, Goldberg AP, Silver KM. Treadmill Training improves fitness reserve in chronic stroke patients. Arch Phys Med Rehabil. Vol 82, July 2001
18.   Yang A, Lee SD, Su CT, Wang JL, Lin KL. Effects of exercise intervention on patients with stroke with prior coronary artery disease: aerobic capacity, functional ability and lipid profile: a pilot study. J Rehabil Med. 2007